Bab 22

205 63 12
                                    


Bab 22 Ujian Sabar


Makan malam yang terasa canggung mengawali perjalanan mereka di Karimun Jawa. Dipa yang tak pernah berhenti melirik, membuat Aga tak meninggalkan sisinya. Caca yang terkadang terlihat tidak nyaman semakin membuat suasana hati Aga memburuk, dan Mara bisa merasakan itu. Kekuatiran yang bisa dilihatnya, tergambar jelas di wajah Aga. Walaupun bibir Aga tak pernah berhenti tersenyum padanya.

Napas lega tak bisa ia sembunyikan ketika Caca berdiri dan meminta Dipa mengantarnya kembali ke kamar. Ia bahkan menghela napas panjang membuat Aga menaikkan kedua alis keheranan. "Canggung banget," ucap Mara meski Aga tidak mengatakan apapun. "Aku mau jalan-jalan sebelum tidur," ucapnya berdiri. "Night, Mas."

"Siapa yang ngizinin kamu jalan-jalan sendiri?!" kakinya berhenti seketika mendengar nada ketus Aga. Pria yang kini berdiri tepat di depannya terlihat mengintimidasi.

"Aku enggak perlu izin siapa-siapa, Mas. Apalagi izin darimu, kan." Mara tak tahu kenapa Aga bersikap seperti ini. "Kamu kenapa, sih?" tanyanya yang kini berkacak pinggang.

Aga berdiri dan menghampiri tanpa melepas pandangan. Ada perasaan takut, tapi Mara menolak untuk memundurkan langkah. Hingga jarak keduanya tak lebih dari sejengkal. "Karena aku enggak akan bisa jauh darimu. Karena aku enggak mau kamu jalan-jalan sendiri!"

Mara tak bisa mengerti dengan sikap Aga yang tiba-tiba berubah. "Kenapa tadi kayak marah, gitu, sih! Jengkelin," ucapnya sebelum berbalik meninggalkan Aga yang terkekeh karena berhasil membuatnya takut. "Balik kamar, sana!" teriak Mara yang beranjak meninggalkan Aga.

Tak lebih dari lima langkah, ia merasakan Aga tepat di sampingnya. Menarik tangannya. Melingkarkan di lengannya. Membuat Mara tak bisa melakukan apa pun kecuali menyejajarkan langkah dengan Aga yang diam tanpa kata.

"Yang marah itu siapa, aku hanya pengen ngabisin setiap menit sama kamu, Yang." Mara memutuskan untuk tidak mengatakan apapun. Keduanya melangkah dalam diam, dan Mara bersyukur, karena saat ini yang diinginkan keheningan. Ia memerlukan waktu untuk mengurai isi kepalanya.

Suasana malam hari resort yang terlihat ramai di beberapa sudut membuat semua jengkel dan ketidaknyamanannya menghilang. Meski liburan berjalan tak seperti yang diinginkannya, tapi saat ini Mara tak bisa berhenti bersyukur. Berjalan berdua bersama Aga. menikmati udara malam yang membuatnya sedikit mengigil, hingga lengan kokoh melingkar di pundaknya.

"Mau balik kamar?" Mara menggelang. "Duduk di sana aja," ajak Aga mengarahkan langkah menuju kursi yang menghadap langsung ke kelamnya malam.

"Di Surabaya enggak bisa dapat langit sebersih ini," ucapnya menyandarkan tubuh di dada Aga yang duduk tepat di belakangnya. "Makasih, Mas," ucapnya.

Mara bisa merasakan kecupan di belakang kepalanya dan tak melayangkan protes. Ia merasakan lengan Aga mengerat pun tak membuatnya ingin mengurainya. Saat ini, ia merasa berada di tempat yang seharusnya. Bersama Aga.

"Aku kayaknya udah jatuh cinta sama kamu," ucapnya tanpa ragu. Tidak ada kata yang terdengar dari bibir Aga kecuali ucap syukur yang dibisikkan tepat di depan telinganya. "Jangan bikin aku nyesel udah jatuh cinta sama kamu, Mas!" ancamnya pelan. Aga yang tak mengatakan apa pun, hanya kembali mengecup belakang kepalanya berkali-kali. "Bau matahari, jangan di ciumin gitu."

TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang