Bab 17

193 62 21
                                    


Bab 17

Malam yang lebih aneh



Setelah menghabiskan semangkuk mie yang Aga siapkan untuknya, keduanya duduk di atas bale-bale dengan kaki bersila. Saling berhadapan dengan pandangan beradu. Mara menatap kedua bola mata yang membuatnya tak bisa berkutik, meski beberapa jam lalu ia merasa jengah dengan sikap Aga.

"Kamu marah," ucap Aga. "Kamu marah karena merasa aku perlakukan seperti anak kecil. Ngelarang kamu enggak boleh ini itu?" Mara tak tahu bagaimana Aga bisa mengetahui hal itu. Pesan yang sengaja tidak dibalasnya tertutupi dengan kejadian memalukan beberapa saat lalu kini teringat kembali. "Yang," panggil Aga.

Mara terdiam, meski matanya tak lepas dari pria yang hari itu terlihat berbeda. Wajah yang terlihat lebih bersih, tidak ada jejak rambut halus di rahangnya. Namun, yang menarik perhatian Mara adalah rambut Aga. "Mas potong rambut," kata Mara keheranan. "Kapan?"

"Kamu bilang aku butuh potong rambut, kan, Yang." Mendengar hal itu, Mara hanya tertawa dan menggelengkan kepala. "Kenapa?" tanya Aga dengan wajah terlihat bingung.

"Kenapa nurut apa kataku, sih, Mas," ucap Mara. "Kalau kamu lebih suka gaya rambut acak-acakan begitu, ya, ngapain juga di potong." Mara bingung harus bagaimana menghadapi dinamika hubungan mereka berdua saat ini. setelah pembicaraan mereka di rumah Aga, sikap yang ia dapatkan seolah keduanya resmi berhubungan. Walaupun hingga saat ini, Mara masih tak menjawab pertanyaan Aga.

"Ntar malam," ucap Mara tak ingin Aga membahas pembicaraan mereka berdua beberapa hari lalu. "Kenapa tiba-tiba Mas Dipa ngajak ketemu gitu?" Aga mengedikkan pundak. "Emang Caca enggak ngomong apa-apa sama kamu?" Gelengan kepala Aga membuat Mara jengkel melihatnya. "Kenapa?"

Aga yang masih memaku pandangannya, kini membuatnya takut. Pasalnya, semenjak mendengar pertanyaannya, Aga memajukan badannya hingga wajah keduanya hanya berjarak beberapa centi. Mara menelan ludah dengan gugup. Pria yang tak terlihat ingin memundurkan kepala, kini memasang senyum di bibirnya. Bahkan kini kulitnya terasa meremang ketika pandangan Aga berpindah ke bibirnya. Tanpa ia sadari, mara menarik napas dan terdiam. Hingga ia medapati kepala Aga semakin mendekat. "Karena kamu minta aku untuk enggak terlalu dekat lagi sama Caca."

"Ak ... aku ...." Mara kehilangan kata-kata. Ia melarikan matanya ke segala penjuru kecuali pria yang kini memiringkan wajah seolah bersiap untuk menciumnya. "Kamu mau ngapain, Mas?" tanyanya dengan suara serak.

"Aku pengen nyium kamu," jawab Aga membuat matanya membelalak. "Tapi aku enggak mau kalau setelah itu malah bikin kita jadi canggung. Tapi ...." Aga terdiam dan semakin mendekatkan kepala. "Tapi aku benar-benar pengen nyium kamu." Sebelum ia sempat menjawab, Aga berdiri dan mencium puncak kepalanya. "Kamu istirahat dulu, kabari nanti malam mau di jemput atau berangkat sendiri."

"Jemput!" jawabnya tiba-tiba membuat Aga terkejut. "Aku mau Mas jemput," ucapnya pelan. "Bukan karena enggak bisa nyetir sendiri, tapi karena aku malas nyetir."

***

Mara tak berani menatap Aga setelah aksi pria itu tadi pagi. Bahkan ia bisa merasakan pipinya menghangat setiap kali mengingat apa yang akan di lakukan Aga. Kedekatan mereka berdua, bahkan Mara bisa melihat warna mata Aga dengan jelas. Ciuman bukan hal baru baginya, tapi apa yang hampir terjadi antara dirinya dan Aga terasa berbeda.

"Kamu marah?"

"Hah? Marah kenapa?" tanya Mara terkejut mendapati pertanyaan Aga. Semenjak ia memasuki mobil Aga beberapa menit lalu, keduanya diam. Hanya musik mengisi kekosongan di antara mereka berdua.

TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang