Bab 38 | Arshaka: Rasa Bersalah

190 42 87
                                    

Jujur makin kesini makin susah nulis woyyy!!!

Mau banget disemangatin sama kalian nih 🔥🔥🔥

Happy Reading ❤️

🍁🍁🍁

Mendengarkan Amma bercerita tentang Tante Linda jujur membuatku tak tenang. Aku tahu hal ini tidak hanya akan menyakiti Nala, tapi juga Amma sendiri. Aku mengerti Amma memendamnya selama ini. Tak pernah sekalipun beliau menyebut nama mendiang sahabatnya. Meski aku yakin, beliau melihat Tante Linda dalam wajah Nala.

Kuantarkan Nala ke rumahnya malam ini. Dia tampak baik-baik saja seperti yang sudah dikatakannya. Namun aku belum percaya sepenuhnya, mengingat dia menangis sesenggukan tadi.

"Gue temenin sampai lo tidur, ya?"

"Lho-lho-lho nggak bahaya tho?" candanya.

Aku terkekeh lalu mengacak rambutnya. Nala si asal-bunyi telah kembali.

"Lo mikir apa, hm? Mana berani gue macam-macam sama anak kesayangan Amma?"

Nala tertawa. Kami sampai di kamarnya. Aroma manis khas Nala menyambut indera penciumanku. Nala langsung ke kamar kecil di sudut, melakukan ritual anak gadis pada umumnya. Sambil menunggu, aku merapikan ranjang gadis itu.

Nala keluar setelah merampungkan rutinitasnya. Wajahnya tampak segar setelah cuci muka, meski mata gadis itu masih sembab karena banyak menangis.

"Kak Shaka siapin tempat tidurku?" tanya Nala.

"Iya. Sini," ujarku menepuk ranjangnya. Dia tersenyum salah tingkah.

"Berasa malam pertama deh!" celetuknya. Aku tertawa menanggapi guyonannya.

Kemudian Nala berbaring dan kubantu ia memakai selimut. Saat aku menggeser kursi rias ke dekatnya, dia memintaku duduk di atas ranjang saja. Aku menurutinya, mengambil tempat disamping Nala dengan bersandar di kepala ranjang. Dalam posisi ini aku leluasa membelai surai hitam gadis itu.

Nala tak langsung memejamkan matanya. Jika diam seperti ini, tampak sekali kesedihan masih menggelayuti wajah cantik itu.

"Kak," panggilnya pelan.

"Hm?"

"Aku udah biasa hidup tanpa Bunda dan Ayah. Kenapa sekarang pas aku udah ingat Bunda dan tahu semuanya, rasanya sedih banget ya?" lirihnya.

"Lo pasti kangen Bunda, kan?" tebakku. Nala hanya mengangguk.

"Lo kapan terakhir kali ke makam beliau?"

"Udah lama. Toh kemarin-kemarin nggak ada kenangan manis yang aku ingat tentang Bunda. Jadi pas ke makam pun, aku biasa aja," jawab Nala. Nadanya sedih. Aku paham, Nala tak mengenal ibunya sendiri. Dan baru semalam ingatannya kembali.

"Mau ke makam Bunda sama gue?" tawarku.

Nala mengangguk lalu bertanya padaku, "Kak Shaka dekat sama Bunda ya?"

"Bunda lo tante kesayangan gue. Lebih tepatnya gue keponakan kesayangan Bunda lo, Cil," jawabku dengan senyum merekah. Aku jadi merindukan Tante Linda.

Nala memiringkan tubuhnya, kepalanya mendongak menatapku. "Kak Shaka kok nggak pernah cerita?" protesnya.

"Gue nggak mau lo sedih," jawabku. "Dan iri juga," tambahku jahil, mencubit hidung mungil gadis itu. Nala tersenyum kecil. Semburat merah tipis menghiasi pipinya yang pucat.

Aku membelai kepalanya lagi. Mata Nala mulai terpejam. Meski begitu bibir mungilnya masih mengoceh. "Rasanya masih kayak mimpi. Aku udah nggak punya orang tua." Mendengarnya membuat hatiku teriris. Mataku terasa panas. Buru-buru aku berkedip, menghapus air mata yang menggenang dengan punggung tangan.

Sad Things About Renala [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang