18 - Gavin or Kavin?

1.5K 136 10
                                    

*Selamat membaca, semoga suka!*

Jika berkenan, kalau ada typo komen, beritahu aku ya, makasih(⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)
~~~

Penyesalan memang selalu datang di akhir, Kavin merasakannya sekarang, menyesal karena mengajak Galen bersamanya ke rumah Faresta, karena apa yang terjadi? Kedua pemuda itu malah bertengkar, beradu ucapan dengan tatapan permusuhan, siapapun selamatkan Kavin dari dua manusia berbeda usia ini.

"Ya lu tidur sendirian dong! Gitu doang takut, Gavin pokoknya sama gue!" Faresta menyeru kesal pada Galen, ia duduk di kursi roda dengan wajah kesal serta tatapan permusuhan yang mengarah pada Galen, tak peduli Galen itu adiknya Gavin atau bukan, ia tidak suka pada remaja enam belas tahun itu pokoknya.

"Dih, kak Gavin itu kakaknya gue, bukan lu!" balas Galen, nafasnya sedikit memburu, rasanya amat kesal pada pemuda yang dua tahun lebih tua dua tahun darinya ini.

"Terus? Kan terserah Gavin yang mau sama gue daripada lu!" Faresta membalas pula, yang membuat suasana semakin ribut saja.

"Gak ada, kak Gavin sama gue!" seru Galen, ia masih tak terima karena dirinya di suruh tidur di ruang tamu sedangkan kakak Gavinnya malah bersama manusia menyebalkan itu! Yang jelas tidak akan di izinkan olehnya.

Kavin sendiri hanya menghela nafas pasrah, ia duduk dengan tenang di antara dua orang yang kini masih saling menatap tajam, tak ingin melerai atau berkata apapun, lagipula ia hanya ingin beristirahat untuk sejenak itu saja bukan apapun, entahlah sekarang ini ia lelah, untuk beberapa hal di dunia ini termasuk hidupnya, menjalani kehidupan sebagai orang lain membuatnya lelah, bukan fisiknya, melainkan pikiran serta mentalnya, setiap hari di panggil dengan nama yang berbeda dengan dulu meski berusaha untuk nyaman dan terbiasa, Kavin tetaplah Kavin, yang kini harus menjadi Gavin dengan kata lain sedikit terpaksa menjadi orang itu.

"Kalian aja yang tidur berdua, aku mau ke luar bentar, Dek, jaga Resta bentar!" Kavin bangkit berlalu pergi, keluar tanpa mendengar satu kata pun yang terucap dari dua manusia itu.

Langkah itu pelan, menyelusuri jalanan kompleks, disini menenangkan, kawasan ini terbilang tenang, suasana malam terbilang hening, dua atau tiga teras berisi beberapa orang yang tengah mengobrol, satu, dua bahkan tiga dari mereka juga menatap ke arahnya, mungkin bertanya siapakah ia yang secara tiba-tiba berada di area ini.

Saat seperti ini ia ingin menyapa dan berkenalan mengunakan nama aslinya; Kavin, katakanlah dia terlalu terbawa perasaan, namun bimbang di hatinya jelas terasa, banyak yang mengatakan laki-laki memang tak punya perasaan, itu benar, ia tidak sedih ketika menonton acara menyedihkan di televisi saat dimana adiknya, Kiran, menangis sesenggukan di sebelahnya, ia juga bukan orang yang mudah menangis.

Namun saat ini ia ingin menangis, kepalanya terasa pecah disaat ingatan asing sekaligus pikiran tentang dunia ini berdesakan dalam pikirannya, mendongkak hanya untuk melihat langit gelap tiada rembulan tiada bintang, ia sendirian disini, berdiri di taman bermain sendirian, sampai tetes demi tetes air membasahi wajahnya, hujan itu perlahan turun, dari yang awalnya hanya rintikan berubah menjadi deras saat itu juga.

"Ada hujan, bolehkan aku menangis?" Tepat ketika tanya dalam batin itu keluar satu tetes air mata mengalir begitu saja.

Terlintas satu ingatan di kepalanya, ingatan milik Gavin yang asli, kalimat di antara percakapan dua orang itu membuat satu tetes air matanya kembali mengalir di antaran hujan yang sudah membasahi wajah juga tubuhnya.

Ingatan lain juga ikut berdesakkan, isi kepalanya bak benang kusut, tidak ada yang teratur, Kavin diam, membiarkan kepalanya semakin sakit, membiarkan ingatan Gavin menyatu dalam ingatan Kavin, ini gila, tapi sungguh ia benar-benar bingung siapa dia sekarang? Gavin kah? Atau Kavin?

"Ma, Bun, aku siapa?" Pertanyaan yang tak mampu ia keluarkan dari bibirnya, hanya berada di dalam sana.

***

Sujud terakhir kali ini lebih lama dari biasanya, subuh pagi ini ia melaksanakan sholat dengan baik, rasanya jauh lebih baik daripada tadi malam saat ingatan Gavin tiba-tiba datang berdesakan dengan ingatan Kavin, apakah ini pantas di sebut krisis indentitas?

Ia menoleh ke sebelahnya ada Galen dan di sisi lainnya ada Faresta, ia tersenyum tipis, siapapun dia, Kavin kah, Gavin kah, Galen tetap adiknya, adik kecil yang akan ia jaga.

"Kak besok anterin aku kan?" tanya remaja itu membuat ia mengangguk seketika, ia mengelus kepala Galen dengan lembut seperti biasanya.

"Krisis indentitas itu gimana menurut kalian?" tanyanya, ia menoleh sekilas pada Faresta, entahlah, ia ingin menanyakan hal itu, namun, ia sama sekali tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya, ia bisa di anggap gila kalau mengatakan hal yang terjadi padanya, hal yang terjadi padanya itu melawan hukum alam sekali kalian tau!

"Tanya mbak Google," jawab Galen sekenanya saja, agaknya anak itu juga tidak tau harus menjawab apa atas pertanyaan kakak ketiganya itu.

"Emang lagi krisis indentitas?" tanya Faresta, ia mengahlikan atensi Kavin mengarah padanya, membuat yang di tanya mengangguk lalu menggeleng, entahlah, pemuda sembilan belas tahun itu nampaknya bingung harus menjawab apa.

"Ingatan kak Gavin mulai balik?" tanya Galen, ia membulatkan matanya lucu, sembari menggenggam lengan kakak ketiganya, terselip nada takut dari nada bicara remaja enam belas itu.

"Udahlah, yok balik," ujarnya ia bangkit untuk mengambil kursi roda milik Faresta, lalu membantu anak itu untuk duduk disana, Galen juga ikut membantu, ia tersenyum lebar melihat dua anak yang masih saling menatap dengan tatapan permusuhan itu.

Tadi malam setelah ia pulang, kedua anak itu sudah tertidur di kamar berdua, tentunya itu yang menjadi alasan kedua remaja itu masih saling menatap tajam hingga saat ini, tetapi ia suka, suka dengan interaksi dua manusia ini, nampak manis sekali tau!

~tbc~

Terima kasih yang udah baca, yang udah komen ataupun yang udah vote!

Sorry, kalau gak terlalu bagus!(⁠╥⁠﹏⁠╥⁠)

Kavin to Gavin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang