Ekhem, selamat membaca dan semoga suka cerita membingungkan ini!😅
~~~
Galen menatap ibunya sembari tersenyum lebar, ia membiarkan kakaknya pergi ke kamar, entah apapun yang Gavin lakukan, ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama ibunya, bahkan tak melepaskan dirinya dari sang ibunda yang saat ini tengah sibuk memasak.
"Galen tunggu aja di meja makan, hmm," pinta mama Anin ketika melihat anaknya kini berdiri di sebelahnya yang tengah sibuk memotong wartel, hendak memasakan beberapa makanan untuk anak yang selama ini di rindukannya.
"Baik Ma!" Ia mengerakkan tangannya untuk hormat pada mama Anin, lalu dengan gerakan tegap ia mulai melangkah ke meja makan, saat ia hendak duduk, menjadi urung saat teringat dengan Gavin yang tadi meminta izin untuk berdiam diri di kamar. "Ma Galen panggil kak Gavin ya!"
"Iya."
Langkah itu dengan penuh rasa bahagia, saat sampai di depan pintu kamar, remaja itu langsung mengetuk pintu dengan perlahan, lalu dengan segera memanggil kakaknya itu. "Kak Gavin!"
Saat pintu mulai terbuka ia langsung berseru senang. "Kak Gavin, ayo ke bawah, mama lagi masak!"
Pintu yang sepenuhnya terbuka itu menghapus senyuman Galen saat melihat Sabian yang tengah duduk di ranjang menatap penuh tanya ke arahnya, berbagai macam pertanyaan dalam benaknya muncul begitu saja, bertanya-tanya apa tadi Gavin sudah berdamai dengan Sabian, lantas bisa saja melupakan keberadaannya yang hanya sekedar anak angkat, ketakutan itu membuat segala kemungkinan buruk yang ada datang seketika dalam benaknya.
"Oh ya, terus mau ngapain lagi disini, ayo kebawah!" seru Kavin, dengan segera merespon semua yang adiknya katakan ketika melihat bagaimana senyuman manis dari Galen berubah kecut.
Sayangnya Galen tidak merespon sama sekali, seolah remaja itu tenggelam dalam semua pikirannya, yang terpaksa membuat Kavin berkali-kali harus memanggil adiknya Kavin mengguncang sedikit tubuh Galen, hingga sang adik tersentak kecil merasakan sedikit guncangan di lengannya.
"Dek, kamu kok tiba-tiba ngelamun? Ada apa?" tanya Kavin, ia sedikit pun tak bisa mendeskripsikan raut wajah adiknya juga apa isi kepala itu, ia sama sekali tidak paham, selain fakta kalau Galen sepertinya tidak menyukai Sabian.
"Enggak pa pa kok kak, ayo kebawah!" Anak itu langsung menarik lengan kakaknya untuk mengikutinya untuk ke lantai bawah, meninggalkan Sabian disana, tak peduli apa yang sedang dan akan pemuda itu lakukan sendirian di kamar kakaknya, yang ia tau Gavin akan bersamanya, ia membawa kakaknya untuk mengikutinya menuju ke meja makan
Kavin sendiri hanya bisa pasrah, tak mampu jika harus melawan, lagipula untuk apa? Galen itu berharga, saat tatapan, senyuman, semuanya membuat Kavin menyayanginya, seorang adik yang menjadi alasan utama dan penyemangat utama tanpa sadar untuk ia bisa rubah takdir yang Gavin rasakan.
Alur cerita yang nyatanya bisa melenceng jauh, meyakinkan Kavin kalau ini dunia nyata, bukan sekedar fiksi semata atau tipuan dari mahluk ghaib yang hendak menganggu pikirannya.
"Ma!" seruan yang terdengar ceria itu menyapa gendang telinganya melihat bagaimana Galen tersenyum manis usai berhasil membawanya untuk duduk di meja makan.
Kavin tersenyum manis, mama Anin, adalah salah satu dari dua wanita yang saat ini menurutnya harus ia jaga satunya lagi ialah Anaya, entah mengapa Kavin tak melihat gadis itu sama sekali saat ini padahal biasanya Anaya akan duduk di ruang keluarga pada jam-jam segini.
"Kak Anaya mana ma?" tanya Kavin, sontak berhasil merubah raut wajah gembira milik ibundanya berubah sendu, Kavin terdiam kala menyadari kalau semua anaknya membuat kekhawatiran mama semakin bertambah. "Gavin panggilin ya ma? Pasti gak keluar dari kamar kan?"
Galen disana hanya memperhatikan sedangkan mama Anin tersenyum tipis lalu mengangguk mengizinkan Gavin yang baru duduk untuk memanggil satu-satunya putri mama Anin.
Kavin melangkahkan kakinya pergi setelah meminta Galen untuk tidak mengikutinya, disinilah dia berdiri, tepat di depan pintu kamar Anaya, ketukan demi ketukan ia lakukan sampai suara Anaya terdengar.
"Masuk aja!"
Ceklek
Kavin tanpa pikir panjang langsung masuk setelah mendapatkan izin, ruangan bernuansa merah muda yang berpadu pada biru itu membuat Kavin sedikit tak nyaman, perbedaan gender membedakan selera pula, ia tak apa untuk warna birunya, tapi warna merah muda? Tidak sekali untuknya, katakanlah ia sedikit tak menyukai warna terang.
"Kak."
"Kau disini ngapain?" tanya Anaya, nada sinis terdengar, membuat Kavin hanya bisa menghela nafas, sambil tersenyum manis ia memilih duduk di sofa yang sepertinya menjadi tempat Anaya dan teman-temannya bersantai.
"Gak pa pa, mau bicara aja sama kak Anaya," jawab Kavin, ia tersenyum tipis, Garvin dan Anaya, baginya masihlah kakak yang harus di hormati, meski mereka sama sekali tidak bisa menerima fakta tentang Galen, bahkan Anaya tak dapat menerima Sabian.
"Apa? Tentang Galen atau Sabian? Kalau minta nerima Sabian, belum bisa, memaafkan papa dalam waktu singkat juga enggak ya Vin!" nada tegas terdengar dari ucapan Anaya yang masih mencoba untuk sibuk dengan laptopnya.
"Siapa juga yang minta kakak buat maafin Papa, atau nerima Sabian, yang datang kesini itu Gavin kak, bukan suruhan papa," ucap Kavin, ia tersenyum tipis saat Anaya menoleh ke arahnya meski kakak perempuannya itu masih duduk di meja belajarnya.
"Terus mau apa kesini?" tanya Anaya, ia mencoba untuk tidak peduli dengan apa yang Gavin katakan padanya tadi, tapi, Gavin itu adiknya, entah bagaimana menjadi satu-satunya adik serta saudara yang tidak berubah sejak fakta Galen terbongkar, masih sama sejak Gavin kehilangan ingatannya dulu saat pemuda itu mulai dekat juga mulai menyayangi Galen, bahkan setelah ingatan anak ini kembali, ia tetap menyayangi Galen, apa sikap buruk, nakal, juga berandalan adiknya dulu karena masalah itu?
"Kak, aku gak disini tiap hari loh, mama sendirian setiap harinya, aku juga tau mama masih menjaga jarak sama papa selama ini, gak harus setiap hari atau dua puluh empat jam, kakak bisa kan temenin mama saat sarapan atau apapun itu, pokoknya sebentar aja dalam sehari, supaya mama gak terlalu khawatir sama salah satu anaknya," pinta Kavin, ia melihat kakak perempuannya terdiam di tempat, ia tak tau apa yang ada dalam pikiran itu, tapi Kavin kembali melanjutkan kalimatnya.
"Aku gak minta kakak maafin papa, yang pernah papa lakukan itu rasanya mencoreng harga diri aku juga, tapi bisa juga kan tetap berprilaku baik sama Galen juga Sabian, biar bagaimanapun mereka saudara kakak, kalau yang ini aku gak maksa kak," ucap Kavin, ia mengucapkan permintaan kedua usai satu permintaan tadi terlontarkan begitu saja.
Anaya nampak terdiam, seolah tak tau harus merespon apa dan bagaimana ucapan berupa permintaan dari adik laki-lakinya ini lalu tak lama ia kembali mendengar permintaan dari adiknya ini lagi.
"Kak, ini permintaan ketiga dan terakhir, kata jin dalam kartun yang sering aku liat, manusia bisa meminta tiga permintaan, dan permintaan ketiga ku, kakak jangan mengurung diri di kamar, bahkan bolos kelas, kak kuliah itu penting loh, buat kakak satu langkah lebih dekat dengan cita-cita kakak, itu saja, kak, aku gak mau ya cuma karena masalah kecil kakak jadi seperti ini." Kavin langsung melontarkan segala permintaannya juga kata-kata terpendam dari hatinya, mungkin dengan begini mama Anin tak perlu terlalu banyak beban pikiran jika Anaya kembali kuliah juga menemaninya sesekali, ia kembali menghela nafas lalu. "Dan kak, Gavin belum bisa bantu kakak buat kafenya, maaf."
~tbc~
Cerita ini makin gak jelas🙏😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Kavin to Gavin
AléatoireKavin Ardana Adiputra, hidup sederhananya harus menghilang begitu saja saat ia mendapati dirinya terbangun di tubuh seorang pemuda, Gavin Ardian Adhlino, seorang antagonis jahat dalam salah satu novel online yang pernah ia baca. Huh, harus apa ia se...