26 - Keputusan Sabian

724 91 20
                                    

Selamat membaca semoga suka...

Maaf lama gak update, salahin otak Alin tiba-tiba stuck gak mau ngetik, kemarin udah ngetik hampir selesai, eh semuanya tulisannya malah hilang jadi ya... Baru bisa update sekarang, sorry !😭

~~~

Menjadi yang termuda di keluarga adalah hal paling menyenangkan yang pernah Galen alami, tak pernah terfikir olehnya kalau dirinya hanyalah anak angkat yang tidak pernah di harapkan, menjadi bagian dari sebuah keluarga harmonis hanyalah keberuntungan baginya karena terlahir di dunia saat bungsu yang di harapkan sudah tiada, lantas harus apa ia berperilaku pada keluarganya usai seluruh kebenaran terungkap?

Pikiran itu melayang, angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya ketika motor mulai melaju dengan kecepatan sedang itu makin membuatnya melamun memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang, bahkan lamunannya tidak buyar ketika motor yang kendarai kakaknya berhenti tepat di depan gerbang sekolah.

"Kita sampai, berhenti melamun dek!" seru Kavin yang sontak membuyarkan segala pikiran sang adik yang sedari tadi diam tak bersuara, bak sebuah patung tanpa jiwa.

"I-iya kak," ucap Galen, ia tersenyum tipis sedikit kikuk saat ia benar-benar turun dan berdiri di hadapan kakaknya itu, sekolah hari ini adalah hari pertama usai tiga hari ia memutuskan izin karena sakit, walau sebenarnya ia hanya terlalu memikirkan masalah keluarganya, serta ia tak ingin bertemu dengan kakak kelasnya yang bernama Sabian itu.

"Belajar yang rajin." Kavin mengusak rambut adiknya, tersenyum lebar tanda memberikan semangat untuk adiknya itu kembali belajar setelah mengetahui kebenaran itu, ada rasa takut ketika mengingat kalau Sabian juga bersekolah di tempat ini. Namun, Kavin tau adiknya mampu berfikir dewasa dan tidak melakukan hal seperti di pikirannya.

"Bye kak, jangan lupa jemput aku nanti." Galen melambai sembari tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya, masih begitu mengemaskan di mata Kavin, usai itu ia langsung berlalu memasuki kawasan sekolah bersamaan dengan murid-murid lain.

Kavin mulai melajukan motornya setelah memastikan adiknya benar-benar memasuki bangunan sekolah, motor itu melaju dalam kecepatan sedang melewati jalanan, bersyukur karena pagi ini ia tak terjebak macet, kendaraan roda dua itu pada akhirnya berhenti tepat di halaman rumah, rumah itu masih sama sejak pertama kalinya ia menginjakkan kakinya disini, namun rasanya berbeda kala kaki itu melangkah masuk, di sambut dengan mama Anin yang duduk di sofa, tatapan wanita itu nampak kosong, serta sang ayah, Garvin, serta tiga orang asing, salah satunya, Sabian.

"Ada apa?" tanya Kavin ketika hening menguasai suasana ruang tamu ini, kemarin Papa benar-benar menceritakan semuanya pada mama, menjelaskan dengan segala permintaan maaf penuh rasa penyesalan yang terucap.

"Hanya ingin membicarakan hal ini dengan mu Gavin." Suara Garvin terdengar menjawab pertanyaan yang tadi terlontar dari Kavin, menjawab tanya yang adiknya berikan, termasuk mengapa ia menyuruh adik pulang hari ini, setelah adiknya itu memutuskan untuk pergi bersama Galen, entah dimana dua anak itu tinggal, Garvin pun tidak tau, ia hanya berharap adiknya tetap baik-baik saja dimana pun mereka berada, ralat, hanya Gavin, maybe.

"Apapun keputusan kalian aku terima, mau dia tinggal disini ataupun tidak, yang pasti, aku bakal tetap sama Galen," ujar Kavin, ia sudah menyerahkan segala keputusan pada anggota keluarga tentang Sabian, matanya menelisik penampilan remaja itu dengan seksama, apa ini? Apa anak yang di deskripsikan baik, sopan juga disiplin menjadi berandalan? Dengan pakaiannya ala anak geng motor? Memikirkannya lagi ternyata alur cerita novel itu benar-benar sudah berubah.

Perpisahan yang benar-benar berpisah antara dua karakter utama menjadi penyebabnya itu pikir Kavin ketika Arissa menunjukan ketertarikan padanya, bukan sebaliknya, haruskah Kavin senang karena akhir dari kehidupan yang awalnya di tetapkan untuk Gavin tidak terjadi padanya kala ia sudah menjadi Gavin itu sendiri, ia masih berdiri, kentara tidak ingin mendudukkan diri disana.

"Semuanya tergantung pada Sabian, dia maunya gimana," ucap papa Ghaffar, terdengar pelan, tetapi tegas. Namun dari tatapan itu jelas tersirat akan kesedihan mendalam, penyesalan nampaknya tengah pria paruh baya itu rasakan saat ini, kesalahan yang dia lakukan di masa lalu membawa kehidupannya menjadi banyak masalah saat ini, termasuk untuk anak-anaknya yang tak bersalah sama sekali, harusnya ia katakan saja fakta kalau Galen hanyalah anak angkatnya dan Anin sejak dulu, mungkin setidaknya istrinya tidak terlalu mencemaskan banyak hal saat ini, atau jika saja ia tidak tergoda untuk menduakan Anin, maka kejadian hari ini tidak akan pernah terjadi? Seandainya saja.

"Apapun itu semuanya terserah kamu Bian." Wanita di sebelah Sabian mengelus pundak keponakannya, karena wanita yang sudah melahirkan Sabian nyatanya sudah lama tiada, ia yang merawat Sabian bersama suami juga putranya.

"Aku... Mau tinggal disini."

Sempat membuat suasana semakin hening, keputusan Sabian membuat semuanya menghela nafas, Ghaffar yang tidak tau harus bereaksi bagaimana, pun sama dengan Anin, yang ternyata juga di rasakan oleh Garvin, entahlah, mereka akhirnya hanya mampu tersenyum kecil pada Sabian, menerima anak itu dengan lapang dada.

Lantas bagaimana dengan Kavin? Pemuda itu tersenyum maklum, paham kalau Sabian mungkin juga ingin merasakan kasih sayang seorang ayah, lagipula dia berhak mendapatkan kasih sayang seorang ayah, Kavin memaklumi segalanya. Namun, sungguh dalam hatinya belum mampu untuk menerima pemuda itu di kehidupannya, apalagi untuk menjadi adiknya, ia ingat bagaimana rangkaian tulisan dalam novel menjelaskan betapa bencinya seorang Sabian Neandra pada Gavin, si antagonis, helaan nafasnya kembali terdengar, ia mengembangkan sebuah senyuman tipis lalu berpamitan. "Sudah selesai kan? Sabian udah mutusin buat tinggal disini, jadi Gavin pamit."

"Kamu gak pulang nak?"

Suara Anin menghentikan langkahnya, entah bagaimana kedua tungkai itu malah langsung melangkah menghampiri ibunya, lantas memberikan pelukan hangat untuk ibunya tercinta, rasanya sesak seolah ada yang menghimpit hatinya ketika melihat bagaimana ibunya terluka.

"Bukan gak mau pulang ma, tapi nanti, Galen di luaran sana sendirian, biarin Gavin jaga Galen ya, mama gak usah khawatir kami bisa saling jaga, nanti Gavin balik, pas Galen juga kau balik, mama jangan sedih, jangan nangis, nanti Gavin jadi nangis juga," ucap Kavin lirih, ia menghapus jejak air mata yang menghiasi pipi ibu tercintanya.

~tbc~

Akhirnya update, yuhu, kangen Kavin gak?

Makasih udah baca cerita ini, vote cerita ini, juga komen cerita ini, makasih bangetttt ya dan aku menyayangi kalian(⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)

Kavin to Gavin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang