Kita lihat sisi Sabian bentar...
Selamat membaca, semoga suka(≧▽≦)
~~~Sabian Neandra, banyak orang mengagumi kebaikan hatinya juga tampangnya, tumbuh dewasa di keluarga kaya tak membuatnya mendapatkan kasih sayang, ibunya meninggal di usianya yang baru beranjak remaja, ayahnya? Dulu Sabian tak pernah tau siapa pria yang berstatus ayah baginya itu, sampai seorang pemuda muncul, mengatakan padanya, kalau pemuda itu .... Ialah kakaknya, terdengar tidak mungkin, karena dari kecil kakaknya hanyalah; Sagara Neandra, anak dari bibinya.
Saat kebenaran benar-benar terungkap kala tes DNA itu mengatakan kalau Sabian sepenuhnya anak dari pria yang baru ia ketahui namanya; Ghaffar tersebut, ada setitik rasa bahagia dan saat di tanya keputusan apa yang akan ia ambil, jelas ia akan memilih tinggal di rumah besar ini, rumah yang sama mewahnya dengan rumah milik paman dan bibinya. Namun, siapa yang tau kalau mungkin saja ia menemukan hal yang berbeda di rumah ini, mungkin kasih sayang? Bolehkah ia berharap?
"Kamu tidur disini dulu," ujar Garvin, pemuda itu membukakan pintu kamar, kamar itu nampak rapi juga menenangkan, suasana yang jelas ia sukai... Disana figura salah satu anggota keluarga tertata di atas nakas, nampaknya kamar ini milik pemuda itu. "Ini kamar Gavin, sementara kamu tidur disini, kamar sebelah masih di renovasi, gak pa pa kan?"
Sabian mengangguk, tak apa, dulu ia juga tidur di kamar bekas kamar ibunya di rumah, dengan kehadirannya yang hampir tak di anggap mana mungkin ia terbiasa dengan barang-barang mewah, kendaraan roda dua miliknya saja hasil tabungannya dari sejak ia sekolah menengah pertama, walau itu masih termasuk uang jajan dari paman dan bibinya, juga sedikit bantuan dari Sagara, jadi ia sudah terbiasa, Sabian lantas melangkah memasuki kamar tersebut mengikuti langkah Garvin.
"Baiklah, em, Abang pergi dulu." Garvin tersenyum tipis, sedikit canggung menyebut dirinya sebagai 'abang' pada pemuda ini, rasanya belum terbiasa. Usai mendapati Sabian mengangguk pelan ia langsung berlalu dari sana, meninggalkan Sabian sendirian di kamar tersebut.
Sedangkan Sabian sendiri, pemuda itu melihat sekeliling, ruangan ini berbeda dengan kamarnya yang jarang rapi, kata lainnya ia malas merapikannya, para pelayan pun tidak di izinkan masuk, aturan nomor satu di rumah pamannya ialah para pelayan tidak akan masuk kamar para majikan, sebagai penjagaan dari privasi para tuan juga nyonya, Sabian sih ikut-ikut saja, walaupun kamarnya harus lebih sering berantakan daripada rapi begini.
Figura di atas nakas mengahlikan atensinya, sebuah foto keluarga, Sabian jadi iri, melihat bagaimana senyuman seluruh anggota keluarga begitu cerah di dalam sana, meski foto itu nampaknya di ambil bertahun-tahun yang lalu, dua bocah SMP, satu remaja SMA dan anak sekolah dasar tersenyum begitu lebar bersama orang tua yang juga tersenyum penuh kebahagiaan dalam foto itu, jika bisa Sabian juga ingin memiliki foto keluarga seperti itu.
"Beruntung ya kalian," monolognya pelan, perlahan meraih figura itu, ia tersenyum getir kala foto itu ia amati dengan baik, ada rasa sesak kala mengingat bagaimana ia tak sempat mengambil foto bersama ibunya di hari kelulusan sekolah menengah pertamanya.
Hidupnya cukup berat. Namun, ia tahu kalau ibunya pasti mengalami kehidupan yang jauh lebih berat sebagai wanita yang terus mencintai pria yang sudah menikah, lantas menjadi orang kedua di rumah tangga orang lain pasti sangat berat untuk ibunya lewati, yang entah bagaimana ia tak bisa membenci ayahnya sendiri, katakanlah Sabian bodoh, karena bagaimana pun semua yang terjadi adalah kesalahan ayahnya, pria itu meninggalkan ibunya kala ia masih dalam kandungan, juga mengkhianati wanita lain —mama Anin— yang juga amat mencintai pria itu dengan tulus.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu terdengar mampu membuat Sabian langsung mengahlikan segala atensinya, tak lama suara permintaan izin untuk masuk terdengar bersamaan dengan pria itu perlahan masuk, dia, Ghaffar, pria yang menjadi akar dari segala permasalahan di keluarga ini datang memasuki kamarnya, senyum itu sedikit mengembang kecil ketika benar-benar memasuki ruangan.
Di tempatnya Sabian bertanya-tanya apakah tidak ada penyesalan sedikit pun di diri pria ini? Yang bahkan masih bisa tersenyum padanya ketika sudah menghancurkan dua hati wanita yang amat mencintainya.
"Kenapa? Apa kamar ini tidak nyaman? Ini hanya sementara, kamar kamu masih di siapin," ucap Ghaffar, mencoba bersikap bagaimana layaknya seorang ayah memperlakukan anaknya, Sabian mungkin lahir karena kesalahannya. Namun, Sabian sendiri bukanlah sebuah kesalahan, ia pantas di perlakukan baik olehnya.
"Tidak ini nyaman, aku suka," jawab Sabian pelan, ia tersenyum kikuk, ia amat menyukai kamar ini, apalagi ketika kamar ini termasuk kamar impiannya dulu.
"Mau kamar mu kayak gini juga?" tanya sang ayah, tak tau harus berkata apa atau membuka obrolan seperti apa dengan anaknya ini, seolah ia melupakan bagaimana cara ia memperlakukan anak-anaknya yang lain, padahal rasanya tak pernah seperti ini ketika bersikap atau membuka obrolan dengan ke empat anaknya yang lain, termasuk Galen.
"Jika boleh, aku mau."
Usai itu tidak ada kata apapun lagi selain anggukan dari Ghaffar, suasana mulai terasa canggung bahkan meskipun sudah dua menit berlalu, lantas setelahnya sang kepala keluarga bangkit, lalu meminta izin keluar dari kamar setelahnya. "P-papa keluar ya."
Sabian hanya bisa tersenyum tipis sembari mengangguk pelan, membiarkan ayahnya pergi begitu saja dari kamar ini, kembali membiarkan ia sendiri di kamar ini.
***
Langkah Sabian menuruni tangga, melangkah menuruni anak tangga satu persatu, ketika itu langkahnya melewati ruang keluarga, gadis yang berstatus kakak perempuannya duduk di sofa sendirian sambil sibuk menyelusuri beragam video online disana, tatapan itu nampak malas, decakan kesal dapat Sabian dengar saat itu juga.
"Ah, menyebalkan," gumam Anaya, ia langsung bangkit lalu berlalu pergi darisana.
Lagi dan lagi membiarkan Sabian sendirian... Apakah semua ini salahnya sehingga ia benar-benar merasa sendirian saat ini, ia bahkan di tinggal pujaan hatinya, bahkan meskipun ia berhasil membujuk pamannya untuk membatalkan perjodohan dengan gadis yang tidak ia kenal.
~tbc~
Oke, selesai! Huh...
Ternyata Dilan salah ya, bukan rindu yang berat, melainkan menahan kantuk, sambil revisi lagi... Huhu semoga gak ada kesalahan lagi, lagian di bab ini gak ada kata *jemput* yang udah berkali-kali salah terus nulisnya... Berasa kayak kalau kata itu keramat anjir😭🤧
KAMU SEDANG MEMBACA
Kavin to Gavin
RandomKavin Ardana Adiputra, hidup sederhananya harus menghilang begitu saja saat ia mendapati dirinya terbangun di tubuh seorang pemuda, Gavin Ardian Adhlino, seorang antagonis jahat dalam salah satu novel online yang pernah ia baca. Huh, harus apa ia se...