20 - Sepenggal ingatan

1K 103 10
                                    

*Selamat membaca dan semoga suka*

Jangan lupa vote dan komen, thanks you(⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)

~~~

Kavin benar-benar menepati janjinya, seharian penuh, tepatnya hingga larut barulah ia benar-benar pergi ke rumah Faresta, kini langkah itu ia bawa memasuki rumah sederhana milik sang figuran, dapat ia lihatnya disana Garvin duduk di sofa dengan menatapnya datar, sepertinya laki-laki itu kesal karena sang adik tak kunjung datang, bahkan sampai berjam-jam.

"Sorry bang, Galennya ngambek, makanya lama, susah bujuknya, maaf ya bang, hehe." tawa pelan yang canggung terdengar di akhir kalimat bersaman dengan Kavin yang mengaruk belakang kepalanya menunjukan kalau dia merasa bersalah pada si sulung yang berjam-jam harus bergelut dengan suasana canggung ketika menjaga Faresta yang dapat Kavin tebak merasakan hal yang sama. "Tapi makasih ya bang, bang Garvin ter the best deh!"

Dua jempol Garvin dapatkan hari ini yang hanya di balas anggukan serta senyuman tipis untuk sang adik, baru setelahnya bangkit dari duduknya, langkah kaki itu ia bawa untuk mendekati Gavin, adiknya, tangan kanannya ia angkat tepat setelahnya mendarat di atas kepala sang adik. "Istirahat, jangan begadang, nanti Abang bicarain sama papa boleh gak kamu jagain Faresta di rumah."

Kavin mengembangkan senyum lebarnya ketika mendengar kalimat sang kakak, ia menyukai hal ini, suka ketika telapak tangan itu mendarat dan mengusak rambutnya, terasa begitu menghangatkan, juga kata demi kata yang tertangkap olehnya dari Garvin.

"Lagi-lagi Abang yang terbaik, maaf ya, Gavin ngerepotin." Kavin menunduk penuh rasa bersalah.

Tunduknya kepala itu membuat si sulung tersenyum tipis, adiknya sudah menjadi kakak yang baik untuk Galen serta tak ada kata merepotkan untuknya jika yang ia lakukan adalah agar ketiga adiknya dapat merasakan bahagia. "Bagian mana yang merepotkannya?"

Kavin mengangkat pandangannya, menatap kakaknya itu dengan mengerjap pelan, bertanya melalui tatapan mata itu, lalu setelahnya Garvin mendapatkan gelengan kepala dari sang adik, tanda tak tau bagian mana yang merepotkannya dia.

"Gak ada, Abang gak ngerasa repot, jangan nambah beban pikiran dengan mikir yang enggak-enggak," ucap Garvin, tangan kanan itu memijat pelan kening adiknya, seolah merilekskan pikiran Gavin walaupun hanya dengan pijatan sementara itu.

"Iya, makasih bang..."

"Abang pamit pulang dulu." Garvin melangkah keluar usai mengatakan hal itu, pergi perlahan darisana, menyisakan Kavin yang terdiam di tempatnya.

Hangat menjalar di dalam dadanya, menunjukan betapa ia menyukai perlakuan Garvin untuknya, sampai senyuman tipis itu menghiasi wajah tampannya, sialnya, rasa bahagia itu harus berakhir ketika hantaman keras terasa di kepalanya, sakit sontak menjalar dari bagian depan hingga belakang, begitu menyakitkan, namun ia tak menemukan apa penyebab rasa sakit itu, kedua tangannya meremas rambutnya dengan keras, sayangnya, rasa sakit itu tak dapat menghilang nyatanya, yang ada malah semakin bertambah saja.

Hingga yang terasa hanya rasa sakit tersebut di iringi dengan ingatan Kavin yang memudar lalu ingatan yang tadinya buram mulai terlihat.

Kalimat juga wajah pasangan itu dapat dengan jelas Kavin ingat, pembicaraan itu juga terdengar meski hanya sepenggal, rasa sesak di dada ikut terasa ketika kalimat yang terucap dari bibir salah satu dari mereka menggema di seluruh ruang kepalanya dan mungkin tak dapat Kavin lupakan setelahnya, satu, dua tetes air mata mulai mengalir lalu di ikuti banyak air mata lainnya, sakit di kepalanya tak kunjung reda namun ternyata ingatan itu ikut membuat kepalanya terasa semakin mau pecah.

"Shhh, sakit..." rintihannya terdengar pelan, tak ingin menganggu Faresta yang sudah terlelap dalam kamar sana, membiarkan malam ini pemuda itu habiskan dengan sepenggal ingatan Gavin yang asli.

***

Detik, menit, jam, hari, hingga tak terasa satu minggu kembali terlewati, usai bujukan demi bujukan akhirnya Kavin di berikan izin untuk tinggal di rumah bersama Faresta, rasa senang meluap begitu saja, memang di karenakan jarak yang cukup jauh membuat Kavin tak mampu untuk pulang setiap hari, bahkan minggu ini ia belum pulang sehari pun, bahagia rasanya ketika Ghaffar sendiri —bersama Galen— yang tadi datang menjemputnya, kini ia sudah duduk di sebelah Ghaffar, pria itu terlihat fokus menyetir saja, sedangkan Faresta duduk berdua dengan Galen di kursi penumpang bagian belakang, keduanya nampaknya masih tak akur juga.

"Makasih pa," ucap Kavin senang, ia menatap jalanan dihadapan mereka dengan sebuah senyuman yang mengembang sempurna di bibirnya.

Hanya anggukan serta senyuman di barengi suara kekehan pelan yang terdengar dari Ghaffar, namun itu tak mengubah keadaan di kursi bagian belakang sana, masih penuh dengan aura permusuhan, nampaknya dua manusia itu sudah menjadi rival saat ini, yang mungkin tak ada kata perdamaian di antara mereka.

"Udah sampai!" seru Kavin ketika mobil memasuki kawasan rumah, yang hanya mendapatkan senyuman dari sang ayah, dua manusia di belakang hanya diam, tak peduli.

"Papa!"

Suara menggema di pikiran Kavin yang sontak membuatnya menoleh ke beberapa arah untuk melihat siapa itu yang berbicara, sayangnya tak ada yang berucap saat ini, mencoba untuk diam di tempat, Kavin merasakan serta melihat sepenggal ingatan milik Gavin, suara-suara itu mengisi seluruh otaknya, perlahan tapi pasti ia dapat merasakan ingatannya sebagai Kavin memudar di telan waktu, bersamaan dengan rasa sakit yang juga ikut mereda, hal bagus untuk Kavin yang ingin menyembunyikan rasa sakitnya dari anggota keluarga.

"Vin, kenapa gak keluar?" tanya Ghaffar ketika pria itu sudah keluar dari mobil bersamaan dengan Galen yang juga ikut keluar, dua pria berbeda usia itu menatap Kavin bingung.

"Iya pa," ujarnya seketika keluar darisana, lalu langsung  mengeluarkan kursi roda di bagasi mobil, mobil yang gunakan cukup besar sehingga dapat menyimpan kursi roda itu di sana, baru setelahnya mengendong Faresta kata lainnya membantu anak itu untuk bisa duduk di kursi yang memiliki roda itu.

"Makasih," ucap Faresta tulus, rasa senang kentara di wajah anak itu ketika memiliki satu orang yang amat peduli padanya, meski pada kenyataannya Gavin hanya bertanggung jawab atas kecelakaan waktu itu, tak apa, yang terpenting Faresta merasakan seperti apa kasih sayang dari seorang kakak.

~tbc~

Gimana bab yang ini? Bagus tidak?

By the way, makasih buat yang udah baca, buat yang udah vote, juga buat yang udah komen, kalian yang terbaik༼⁠ ⁠つ⁠ ⁠◕⁠‿⁠◕⁠ ⁠༽⁠つ

Sayang banyak-banyak untuk kalian(⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)

Kavin to Gavin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang