29 - Kamar bersama untuk sementara

361 48 9
                                    

Aku kembali dengan bab 29 untuk kalian, gak janji sih bakal sering update, jadi aku minta maaf duluan juga maaf karena gak update selama terhitung 11 hari sejak terakhir aku update ya...

Sungguh ekonomi author lagi susah banget buat punya kouta sering-sering😅

~~~

Pagi minggu ini, usai pertimbangan yang Kavin lakukan, akhirnya ia membawa Galen pulang ke rumah, atas permintaan mama Anin dan izin dari papa Ghaffar, Garvin? Pemuda itu jangan di tanya, dia bahkan tidak ingin berbicara apapun tentang masalah ini, ia sudah pergi dari rumah sejak pagi sekali menunjukkan betapa tidak inginnya ia bertemu Galen.

"Bang Garvin gak mau ketemu sama Galen?" gumam Galen pelan, ia tau, ia bukanlah siapa-siapa di keluarga ini, hanyalah orang asing yang beruntung, itu saja, tidak lebih. Namun, terlepas dari itu semua Galen sungguh-sungguh jika seandainya ada yang mengatakan Galen menyayangi semua kakak-kakaknya.

Lalu Anaya? Gadis itu, masih berdiam di kamarnya tak ingin keluar, hanya keluar jika ada yang di butuhkan saja, nyatanya gadis itu juga sama, tak ingin bertemu dengan Galen. Paham akan kekacauan yang tercipta karenanya, Galen sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, remaja itu kini memilih untuk tersenyum lebar pada mama Anin.

Greb !

Tepat saat itu juga pelukan hangat di dapatkan oleh Galen, sebuah kehangatan seorang ibu terasa begitu menyenangkan di hatinya, tangisan langsung terdengar dari mama Anin, nampaknya wanita empat anak itu amat begitu merindukan putra bungsunya.

"Gimana kabarmu nak?" Mama Anin menghapus jejak air matanya, serta perlahan melepaskan pelukannya, ia menatap putranya sambil tersenyum lebar, melihat bagaimana kondisi Galen membuatnya ia dapat menghela nafas lega, sungguh selama ini setiap malam jika tidak mendapatkan pesan dari Gavin mana mampu ia untuk tidak terlalu khawatir, sebagai seorang ibu ia sangat mengkhawatirkan anaknya.

"Baik, mama juga baik kan?" tanya Galen balik, ia menatap ibunya dengan tatapan penuh binar kebahagiaan, mengabaikan kakak perempuannya yang baru saja turun dari lantai dua, ia juga mengabaikan bagaimana Sabian menatap mereka dari lantai dua.

Anggukan dari Mama Anin yang tersenyum manis padanya mengundang senyuman baik dari Galen juga Kavin yang duduk tak jauh dari mereka, tapi pandangan pemuda itu malah terahlikan saat melihat Anaya yang kembali naik ke lantai atas usai mengambil gelas berisi air dari dapur, ia memandang apa yang terjadi di lantai atas ketika tatapan penuh permusuhan dari Anaya dan tatapan tanpa arti dari Sabian yang saling berhadapan, beberapa detik setelahnya kakak perempuan Gavin itu benar-benar berlalu masuk kembali ke kamarnya.

"Gavin ke kamar Gavin dulu." Pemuda itu bangkit melangkah naik ke lantai dua sebelum sang ibunda mengatakan satu kata pun padanya, kala langkah itu berada di anak tangga terakhir untuk sampai ke lantai atas ia melihat Sabian memasuki kamarnya, awalnya ia bingung. Namun, ia teringat pesan permintaan izin memakai kamarnya sementara waktu untuk anak bernama Sabian itu.

Tapi itu tak membuatnya mengurungkan niat, saat membuka pintu itu, ia terdiam kala melihat bagaimana kamar rapinya menjadi gelap juga berantakan, ini sama seperti saat pertama kali ia masuk kesini, ingatan itu berputar pada kehidupannya selama menjadi Kavin, adik perempuannya juga sangat berantakan, menggeleng kecil, ia segera menepis pikirannya lalu melangkah masuk, melihat pintu kamar mandi yang tertutup ia paham Sabian pasti ada disana, dengan segera ia menuju meja di sudut ruangan, mencoba mengabaikan suasana pengap yang hadir karena gelapnya ruangan juga berantakannya tempat ini dengan bungkusan cemilan.

"Masih ada kan ya?" gumam Kavin kala membuka laci di meja itu, buku harian milik Gavin masih berada disana, tersusun rapi bersama beberapa buku lainnya, sepertinya anak itu cukup menjaga privasi seseorang, hal itu mampu membuatnya menghela nafas lega, bangun dari duduknya Kavin alias Gavin langsung membuka tirai yang menutupi cahaya dari luar.

Dengan segera pemuda yang menjabat sebagai anak ke tiga papa Ghaffar itu mulai mengumpulkan sampah bekas bungkus makanan yang tercecer di lantai lalu membuangnya ke tempat sampah, hanya membutuhkan beberapa menit untuk Kavin membersihkan semuanya, ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk sambil bergumam kesal. "Bibi pada kemana sih? Ngapa juga di biarin kamarnya berantakan gitu..."

Ceklek

Kavin tak menoleh, terlihat tak peduli dengan Sabian, ia hanya sibuk memejamkan matanya, pikirannya melayang jauh entah kemana, kembali ke rumah ini, ia harus benar-benar memikirkannya, walaupun semuanya sudah setuju adiknya Galen kembali kesini.

"Ngapain di bersihkan?" tanya Sabian, ia meraih ponselnya lalu duduk di sebelah, umh, kakaknya, mencoba untuk tidak merasa canggung, ia memilih fokus pada layar ponselnya.

Kavin membuka matanya lalu menatap Sabian sesaat, berdecih pelan sebelum menjawab pertanyaan adik berbeda ibu dengannya itu. "Kamar ini kamar gue, ini hanya sementara untuk kau tinggal di kamar ini."

Sabian terdiam, membenarkan fakta tentang yang Gavin katakan, biar bagaimanapun kamar miliknya akan segera selesai di renovasi, dengan warna pilihannya juga letak furnitur yang di inginkan olehnya, hanya membutuhkan satu hari lagi, artinya lusa ia akan pindah dari kamar ini.

"Kenapa, suka sama kamar ini?" tanya Kavin pelan, ia juga sangat menyukai kamarnya ini, bagaimana wangi parfum kesukaan Gavin melekat pada tempat ini, juga bagaimana menenangkannya ruangan luas ini setelah di bersihkan.

"Gak juga." Singkat, padat dan datar, Kavin mendengus mendengar jawaban dari tokoh utama novel berjudul; Perfect My Boyfriend tersebut, pemuda yang akan kehilangan fungsi kakinya karena menyelamatkan Arissa dari si antagonis Gavin.

Ia memandang Sabian bertanya-tanya bagaimana Karin bisa sangat menyukai tokoh ini, padahal tak ada yang kata sempurna dari Sabian, dengan sedikit ingatan dari kehidupan sebelumnya, Kavin mulai terbiasa saat ia mengingat orang tanpa mengingat wajahnya, sempat panik karena hal itu pada akhirnya ia sadar memang harus melepaskan kehidupannya sebagai Kavin dan hidup damai bersama Galen, adik kesayangannya.

Tok tok tok

"Kak Gavin!"

Suara mendayu dari luar kamar langsung membuat Kavin bangkit lalu keluar kamar menemui adiknya, kala membuka pintu ia melihat bagaimana adiknya yang tersenyum lebar lalu berkata dengan nada manisnya. "Kak Gavin, ayo ke bawah, mama lagi masak!"

Saat pintu sepenuhnya terbuka ia langsung meminta kakaknya itu untuk keluar, tapi raut wajahnya langsung berubah menjadi kecut ketika melihat kehadiran Sabian disana, nampaknya ia kesal dengan keberadaan sosok tersebut.

~tbc~

Gimana? Kemampuan nulis aku ngurang ya? Oke bye, sampai ketemu di bab selanjutnya...(⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)

Kavin to Gavin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang