·˚ ༘₊· ͟͟͞͞꒰➳ Eighteen.

930 117 6
                                    

╔═══════ ೋღ NOIR ღೋ ═══════╗

[―ᴛʜɪʀᴅ ᴘᴇʀꜱᴏɴ ᴘᴏɪɴᴛ ᴏꜰ ᴠɪᴇᴡ―]

Selama hampir 3 hari, [Name] menjalani rawat inap di rumah sakit tersebut. Selama itu pula, Mirai datang untuk menemaninya. [Name] menolak mentah-mentah jika yang menemaninya adalah anak-anak Noir atau pun kakak-kakaknya. Mirai dan Kaijiki bergantian menjaga [Name], bagi anak-anak Noir atau pun kakak-kakak [Name], mereka tidak terlalu familiar dengan Mirai atau pun Jiki, tentu mereka berwonder-wonder kenapa [Name] bisa kelihatan sedekat itu dengan mereka berdua.

Kegiatan kuliah [Name] pun agak terhambat, tetapi setidaknya Mirai membantunya sebagai perantara antara Souta dan Mia. Sementara di ruang tunggu di depan ruang VVIP itu selalu ramai, selalu ada yang berjaga menunggu. Bahkan seperti sekarang, kakek [Name] sampai pergi ke Tokyoverse untuk menjenguk cucunya itu.

Gadis itu menghela napas panjang, sedari tadi kakeknya yang sudah hampir menginjak usia 70 tahun itu terus mengoceh tidak jelas di dekatnya. "[Name] gak apa-apa, kakek pulang aja sana." Ucapnya dengan lembut, tapi kata-kata yang digunakan seolah untuk mengusirnya.

"Kakek diusir, gitu?" Luke memandang heran ke arah cucunya itu, sudah jelas sekali jika [Name] kini tidak ingin bertemu siapa pun yang berhubungan dengan dua kubu di awal.

Gadis itu mengangguk, "Iya."

"Jahat beut."

"Emang." Sahut [Name] singkat sambil melanjutkan kegiatan makan siangnya, Luke pun menghela napas panjang dan akhirnya beranjak keluar ruangan, walau ia belum ingin pulang melainkan ingin menemui orang-orang yang kini saling perang dingin di depan ruang rawat [Name].

Di sana sudah ada Rion, Caine, Riji, Gin dan juga Agil. Sementara tiga kakak tertua [Name] juga ada di sana, di antaranya adalah Darel, Raven dan Hilzem. Kedua kubu itu duduk agak berjauhan, ketika Luke keluar dan memperhatikan mereka, seketika tatapan tajamnya mengarah ke Raven.

Sejak awal, Raven yang paling banyak menyakiti [Name]. Entah itu dari kata-kata atau perlakuan fisik yang dilakukannya kepada [Name], tentu itu membuat Luke geram. "Raven, ikut kakek sekarang." Ujarnya dingin sembari langsung pergi meninggalkan tempat itu, si empu pemilik nama berdecak kesal sebelum akhirnya mengikuti kakek dari ayahnya tersebut.

Tak lama setelahnya, perhatian mereka tertuju kepada Mirai dan Jiki yang keluar dari ruangan [Name]. Sedari tadi mereka berada di pojok, pura-pura tidak dengar percakapan antara kakek dan cucunya karena [Name] keukeh meminta keduanya agar tidak pergi keluar ruangan.

Jiki berujar, "Atas nama Darel Zvarga dan Rion Kenzo, [Name] ingin bertemu dengan kalian berdua. Tetapi di mohon untuk tetap tenang, silahkan." Ia dan Mirai menyingkir dari pintu, membiarkan dua pria yang namanya dipanggil segera masuk ke dalam ruangan sana, menemui [Name] yang kini duduk bersila dengan selang infus masih menempel di tangan kirinya.

[Name] menundukkan kepalanya, tangannya sibuk bermainnya dengan ujung selimutnya. Setelah ia mendengar pintu tertutup, ia kemudian menghela napas panjang. "Aku minta maaf ke kalian semua," gumamnya lirih, tentu hal itu membuat Rion dan Darel bingung. "Yang pertama, aku minta maaf ke Kak Darel karena.. waktu itu aku gak bisa ngelakuin apa pun dan bikin kalian sakit hati. Lalu, buat Rion dan yang lainnya.. aku minta maaf karena kakek nyuruh kalian buat terus ngejagain aku. Justru keberadaanku malah bikin keadaannya tambah buruk buat kalian semua."

Darel menyanggah, "It's not your fault, [Name]."

Si gadis menggeleng selagi ia masih menunduk, "Intinya, aku gak mau apa yang pernah terjadi sampai terulang kembali. Sejak awal kalian masing-masing seharusnya gak ada masalah satu sama lain, tapi karena keberadaanku, hal itu menghambat kalian yang seharusnya bisa bekerja sama. Harusnya aku―"

"Don't say anything stupid, [Name]." Ujar Rion selagi menghela napas kasar, ia melipat tangannya sembari menatap [Name]. "Kita semua tau, siapa yang jadi sumber masalah di sini. Harusnya mereka yang minta maaf, bukan kamu." Lanjut pria itu sinis, melirik ke arah Darel yang kini duduk di dekat [Name].

[Name] terdiam, mengetahui jika hal yang ia inginkan terjadi sepertinya cukup sulit untuk dicapai sekarang. Sulit, benar-benar sulit baginya. Ada sisi dari dirinya yang menginginkan jika kakak-kakaknya itu mau menerimanya, tetapi di sisi lain, ia juga takut dan ragu akan hal itu.

Sementara, para penonton dari luar stadion―I mean, ruang rawat menonton pemandangan tegang itu dari luar sana. Terkecuali Hilzem yang kini agak was-was dengan bagaimana nasib Raven di tangan sang kakek―Luke, mengingat pria dengan delapan cucu itu cukup ringan tangan dalam melakukan kekerasan.

Pantas cucunya aja miripwoopsie.

Kembali ke bagaimana keadaan di luar ruang rawat [Name]. Yang cukup heboh dan penasaran adalah Agil, Gin dan Riji. Tak dipungkiri, Caine juga merasa khawatir, hanya saja ia lebih kalem dari pada tiga anomali lainnya. Di tempat yang tak jauh, Mirai dan Jiki tengah mengobrol bersama, masing-masing memasang wajah serius sambil memeriksa ponsel mereka.

Mirai menatap Kaijiki dengan ragu, "Jiki, lo sendirian di sini gak apa-apa?" Perempuan itu kembali menyimpan ponselnya, menatap si dokter yang menghela napas. "Aman, kayaknya." Sontak saja, Mirai hampir memukul kepala rekannya itu.

"Gua harap Oza gak ngamuk, sih."

Kaijiki tersenyum lebar sampai memperlihatkan deretan giginya, "Taruhan ayok, udah tentu dia ngamuk. Mana si Hawsya ngomongnya telat lagi, beuh.. kacau sudah." Setelah itu, ia pun dan Mirai pundung bersama.

Kini, suasana di dalam ruang rawat [Name] agak membaik. Walau Rion sempat beberapa kali mengeluarkan kata-kata setajam helaian kertas yang bergerak dengan kecepatan tinggi, tetapi untunglah [Name] sekarang sudah dapat bersuara untuk menenangkan si surai ungu itu. Sudah beberapa kali sejak Darel mengatakan maaf kepada adik bungsunya itu, [Name] sendiri hanya diam dalam kebingungannya.

Mata Rion memicing kesal saat ia melihat Darel yang mendekap adiknya, ingin sekali rasanya dirinya menjauhkan si dokter dari [Name], but he has no right whatsoever to do so. Jadilah ia hanya berdiri di samping ranjang [Name] dengan tatapan yang begitu berarti, tapi justru [Name] yang melihatnya hanya merasa heran.

Kemudian, perlahan [Name] mulai bisa kembali membuka diri, entah itu kakak-kakaknya atau anak-anak Noir sudah diperbolehkan untuk menjenguknya ke dalam ruang rawat. Keadaan [Name] sudah stabil, hanya saja tubuhnya masih lemas dan jantungnya masih sering berdenyut hingga membuatnya kaku sementara waktu.

Luke dimarahi oleh [Name], tentu saja. Raven kembali dengan beberapa luka lebam di tubuhnya, sampai mendapatkan perawatan medis. Sementara Raven kini lebih banyak diam, walau nampak sekali pria itu tidak mau jauh-jauh atau sekedar disuruh keluar dari ruangan sang adik perempuan.

Seperti sekarang,

"Gak, gua stay."

Hilzem mengerutkan keningnya, "Keadaan lo aja masih kayak gitu, istirahat aja di rumah." Ujarnya kepada sang kakak yang tentu sama sekali tidak digubris olehnya. Raven dengan kepala batunya tetap duduk di dekat ranjang [Name], penampilannya masih agak berantakan dengan beberapa plester menempel di wajahnya.

Keadaan antara kedua kubu sedikit membaik, walau mereka masih belum mau berbicara satu sama lain. Entah itu benar-benar terjadi dalam sekejap, atau justru hal itu hanya dilakukan demi [Name] yang kini sedang dalam kondisi yang begitu rentan.

╚═══════ ೋღ FAMILIA ღೋ ═══════╝

Hai,

Eh iya maap,

<3

ᴛʜᴇ ɴᴏɪʀ ꜰᴀᴍɪʟɪᴀ : &quot;ᴏᴜʀ ꜱᴀᴛᴜʀɴ.&quot; [ʜᴀʀᴇᴍ × ꜰᴇᴍ!ʀᴇᴀᴅᴇʀ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang