·˚ ༘₊· ͟͟͞͞꒰➳ Seventeen.

655 100 2
                                    

╔═══════ ೋღ NOIR ღೋ ═══════╗


WARNING!

18+ or older!

This chapter contains cruel thoughts that can be disturbing! Aku sudah memperingatkan, mohon bijak!

Kini, di sebuah ruang rawat VVIP, [Name] tengah diperiksa oleh seorang dokter. Sementara di ruangan yang sama, dua kubu tengah saling beradu pandang, terutama dengan tatapan tajam dari si surai ungu dan abu-abu. Ya, kini Echi, Krow, Mia dan Mako sudah berada di dalam sana, menerobos masuk untuk melihat keadaan [Name].

Sementara Darel, Raven dan Zavier hanya bisa diam seraya menunggu. Sesekali Zavier menenangkan kakak keduanya itu, terlihat jelas jika Raven sedikit tidak sabaran dan hampir naik pitam karena kelakuan anak-anak Noir yang menurutnya kurang sopan.

"Pasien atas nama [Name] perlu istirahat, kalau bisa jangan sampai banyak bergerak. Lalu, di mohon jangan berisik, pasien sedang dalam kondisi yang labil. Mohon kerjasamanya." Ujar si dokter sembari mengatakan beberapa hal lagi, sebelum akhirnya si dokter dan Zavier keluar ruangan untuk menangani adminstrasi.

Raven dan Echi sudah sedari tadi beradu tatap seolah sedang melakukan perang, "Puas lo bikin [Name] pingsan, Ven?" Tanya Echi, ia ingin sekali mengeraskan suaranya namun ia masih ingat bagaimana keadaan [Name].

Raven mendelik ke arah Echi, ia melipat tangannya di depan dada. "Bukan salah gua. Lo pikir gua seneng? Kagak, bangsat."

"Lagian siapa suruh lo pada ke sini? Ngapain lo nemuin [Name]? Bukannya katanya udah gak dianggep siapa-siapa lagi? Nyesel sekarang, iya?" Echi memandang sinis ke arah Raven yang kini semakin dipuncak dan hampir naik pitam, sementara Darel menghela napas panjang sambil memijat pangkal hidungnya, sesekali ia berusaha menenangkan adiknya yang cukup tempramental itu.

"Kalo kalian mau gelut, keluar."

Suara lirih itu membuat atensi mereka bertujuh teralihkan, di ranjang pasien, [Name] mengucek-ucek matanya sambil melirik ke arah jendela. Tentu mereka semua ingin mendekat dan memeriksa keadaannya, tetapi sekali lagi, suara lirih namun terdengar letih itu membuat mereka mematung.

"Keluar," lirihnya. "Mau lo pada gelut apa gimana, gua gak peduli. Keluar lo pada, gak usah jenguk gua."

Mereka terdiam, bahkan Echi yang hendak mendekat pun segera ditarik mundur oleh Mia. Apalagi dengan Raven, Darel sudah buru-buru menyeret adiknya keluar dari ruangan tersebut, begitu pula dengan empat orang lainnya yang meninggalkan tempat itu sambil menatap sendu ke arah si pasien.

[―ꜰɪʀꜱᴛ ᴘᴇʀꜱᴏɴ ᴘᴏɪɴᴛ ᴏꜰ ᴠɪᴇᴡ―]

Ah, sial.

Kenapa begini, sih?

Selalu ada aja masalahnya, entah ini Noir atau malah orang-orang itu. Kacau kalau perang dingin terjadi lagi, salah kalau aku datang ke Tokyoverse. Kalau tau akan begini, lebih baik aku bersama Hawsya dan yang lainnya, pergi ke luar negeri dan menyusul kakek ke Belanda mungkin adalah opsi yang seharusnya aku pilih sejak awal.

Kepulauan San Andreas, negara yang cukup besar dan berpengaruh. Hanya saja, beberapa tingkat kriminal di beberapa kota besarnya cukup memprihatinkan. Memang tidak salah jika banyak fraksi atau organisasi gelap bermunculan.

Sampai kapan akan seperti ini?

Bukankah aku seharusnya senang jika mereka ingin berubah? Tetapi sepertinya hatiku terlalu sakit untuk membuka diri kepada mereka, terlalu dalam luka yang sudah mereka torehkan untukku di masa lalu.

Benar,

Aku adalah anak bungsu dan satu-satunya perempuan dari ayah dan ibuku. Dulu aku memang mendapatkan kasih sayang penuh dari kakak-kakak dan orang tuaku, tetapi kemudian paman brengsek itu membawa petaka.

Ayah, ibu dan aku mengalami sebuah kecelakaan saat kami hendak pulang dari Kota Baru ke Capitalis. Saat kami melewati hutan sebelum jembatan perbatasan, sebuah mobil dengan sengaja menabrak kami dari belakang. Sebuah kejahatan yang membuat ayah dan ibuku yang tengah sakit menjadi meregang nyawa saat itu juga. Sementara aku sialnya masih hidup sampai sekarang.

Aku terlalu muda untuk melawan saat aku menyadari jika yang menabrak mobil kami adalah adik dari ayahku sendiri, William. Dengan penuh seringai, bajingan itu tertawa saat melihat mayat kakak laki-laki dan kakak iparnya. Ia menggendongku keluar dari mobil sembari mengucapkan sumpah serapah ke arah mayat orang tuaku.

Sungguh, jika sekarang ia masih hidup, akan aku mutilasi seluruh tubuhnya. Kepalanya akan aku lemparkan ke kandang harimau yang ada di garasi gunung di Capitalis, organ-organ bagian dalam seperti jantung, paru-paru, hati dan lainnya yang masih bisa berfungsi akan aku jual ke black market dengan harga yang lumayan. Lalu sisa-sisa bagian tubuhnya akan aku jual ke para kanibal di daerah pedalaman di berbagai negara.

Siapa peduli jika ia mati?

Oh, sungguh.. justru kupikir semua orang akan senang mendengarnya.

Suara jari-jari yang dipotong dengan pisau daging, atau bagaimana jeritannya saat aku menguliti tubuhnya. Ah, sial.. kepalaku sudah pusing membayangkan bagaimana harumnya bau darah jika aku berada di sana secara langsung. Atau suara tawa dari Jiki yang begitu senang mendapatkan mangsanya.

Akan aku pastikan hal itu terjadi suatu saat nanti.

Mataku memandang sekitar saat aku menyadari seseorang memasuki ruangan ini, baru saja aku memikirkannya, Kaijiki yang merupakan seorang dokter spesialis organ dalam sudah masuk dengan helaan napas kasar keluar dari mulutnya.

Ya, dia adalah dokter pribadiku, sekaligus salah satu orang kepercayaanku.

"Sepertinya keadaanmu cukup buruk kali ini, huh?" Tanyanya dengan nada sedikit kesal, ia menggunakan stetoskopnya untuk memeriksa detak jantungku, sementara aku memandangi pria itu dengan senyuman tipis penuh makna.

Ia justru memandangiku dengan heran, "Kamu kenapa? Baru bangun dari pingsan tapi pikiranmu sudah gila karena menyadari siapa yang baru saja datang, begitukah?" Ia menarik kursi untuk duduk di samping ranjangku selagi masih sibuk memeriksaku.

"Jiki."

"Hm."

"Infokan mangsa."

"Hah? Lo belum sehat, kocak."

"Ngebet menggal kepala orang."

"Hanying, otaknya korslet."

"Jikiiii.."

Ia menghela napas panjang sambil memeriksa suhu tubuhku dengan punggung tangannya ia tempelkan di keningku. "Tenangin pikiran lo, [Name]. Mungkin lo kesenangan, tapi tubuh sama pikiran lo lagi gak kuat buat mikirin hal begituan. Nanti gua panggil Mirai buat jaga lo, seenggaknya dia much better daripada Hawsya."

Aku hanya mengangguk kecil, memandangi si dokter yang diam-diam memiliki jiwa phsycopath yang begitu mendarah daging di dalam tubuhnya. "Mau gua temenin? Kebetulan gua udah free buat malam ini, seenggaknya lo butuh seseorang buat nemenin lo, kan?" Ia memasang senyum tipis.

Tentu aku menerimanya.

"Makasih Jiki."

Ia mengangguk sambil mengambilkan air minum hangat untukku, "Gak perlu berterima kasih, ini udah jadi tugas gua. Sini gua bantuin duduk." Ucapnya lembut sambil membantuku duduk, menaikkan ketinggian sandaran ranjang rumah sakit dan membantuku minum.

Ah,

Aku merindukan yang lainnya.

╚═══════ ೋღ FAMILIA ღೋ ═══════╝

...

Is it too much?

Deym.

Eh, iya maap.

<3

ᴛʜᴇ ɴᴏɪʀ ꜰᴀᴍɪʟɪᴀ : &quot;ᴏᴜʀ ꜱᴀᴛᴜʀɴ.&quot; [ʜᴀʀᴇᴍ × ꜰᴇᴍ!ʀᴇᴀᴅᴇʀ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang