·˚ ༘₊· ͟͟͞͞꒰➳ The Third.

1K 157 1
                                    

╔═══════ ೋღ NOIR ღೋ ═══════╗

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

╔═══════ ೋღ NOIR ღೋ ═══════╗

"Ya udah, gua pulang duluan." [Name] bersama teman-temannya hendak berpisah, mereka sempat berkumpul di parkiran cafe sambil sedikit mengobrol lagi. Zilva dengan bangga diri menawarkan diri, "Gua anterin, sini." Ujarnya sambil mengambil kunci mobil dari tasnya dan mengetuk-ngetuk kaca mobil SUV berwarna putih miliknya.

Seketika, [Name] tentu saja menggelengkan kepalanya. "Gak, lo balek sendiri aja sebelum gua kecemplung got lagi."

"Anjeng, gua udah dapet SIM kali!"

"Still, gua trauma. Entar yang ada mobil terbang di tengah kota, uuiiiiwww.. duar."

Kembali mereka saling bertukar candaan dan tertawa bersama, tak jauh dari sana, tiga mobil dengan four sitter sudah terisi oleh penumpangnya. Hanya saja, mereka tidak menyalakan mesin mobil dan lebih memilih memperhatikan pemandangan para pemuda-pemudi yang baru saja hendak berpisah itu dari balik kaca hitam mobil mereka.

"IAN PANTEQ! SINI LO, BANGKE!"

Sebuah pertengkaran kecil terjadi antara Briella dan Ian, namun tak lama setelahnya, keduanya kembali berdamai dan akhirnya teman-teman dari [Name] pun meninggalkan tempat itu. Entah menggunakan kendaraan pribadi atau memesan taksi. Berbeda dengan kawan-kawannya, [Name] kini hanya sempat melambaikannya tangannya saja saat Zilva yang terakhir kali pulang dengan taksi pun pergi. Yeah, niat pulang paling pertama tetapi berakhir pulang paling terakhir.

Apa yang ia lakukan?

Tampaklah ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang, kakinya ia bawa melangkah meninggalkan tempat itu selagi ia menunggu orang yang ia telepon mengangkat panggilan darinya.

[ꜰɪʀꜱᴛ ᴘᴇʀꜱᴏɴ ᴘᴏɪɴᴛ ᴏꜰ ᴠɪᴇᴡ]

Aelah, lama kali si kakek-kakek tua itu angkat teleponnya. Ku tebak pasti dia masih tidur ini, yakin kali diriku.

Aku berjalan-jalan sejenak, tidak berniat sedikit pun untuk memesan taksi untuk pulang. Tangan kananku memegang ponsel dan menempelkannya di dekat telingaku, sementara tangan kiriku memegang kalung yang tadi aku ambil di lantai cafe.

"Halah, pantek." Gumamku kesal sambil mematikan panggilan, menggerutu lirih saat menatap ponselku seraya mencari kontak Pak Suizenka Madaka [the psycho] yang katanya sedang kamuflase jadi pengacara di kota sebelah. Daripada menunggu si kakek tua alias Istmodius [the grandpa] yang ngebo tiap hari, mending cari kepastian ke si Bapak "Sui Dayo~".

After 2 years? Yeah, gak bisa dibilang sebentar juga gak bisa dibilang lama. Aku pergi dari Kota Capitalis karena keadaan kota yang.. cukup amburadul karena perang besar antar dua fraksi yang saling bertentangan. Sementara, Pak Sui dan anak-anak Noir entah lagi ngapain aku gak tau. And I don't care, why? Better mereka gak bersama aku lagi, atau―

"Halo, [Name]!" Suara Pak Sui yang khas langsung terdengar, suara berat namun menyenangkan itu membuatku langsung membalasnya. "Halo Pak Cui~ Gimana kabar, pak?"

"Baik, kok. Kalo kamu, gimana? Tumben telepon, nih."

"Watashi wa gwenchana, pak."

Dapat ku dengar jika pria yang mempunyai berbagai pekerjaan tertawa pelan di seberang sana, "Gwenchana is Korean, kid." Balasnya.

"Iya deh, pak. By the way," aku terdiam sejenak, kembali memperhatikan kalung yang ada di tangan kiriku. "Pak, anak-anak Noir kok ada di kota ini? Pake segala nganter kalung Saturnus punyaku, pula."

"Oh.. itu. Jangan tangan aku, sih. Si kakek juga kayaknya gak tau, so you better ask to the right person."

Aku berdecak kesal, "Bapak, aku gak mau gitu bapak. Entar kejadian kek dulu, aku yang trauma, bapak. Eung~"

"Yo ndak tau kok tanya saya."

"Hiksrot, dahlah."

"Ya udah, aku tutup telponnya gak apa-apa? Aku masih ada urusan, nih." Suara kertas dan ketikan di keyboard komputer terdengar lirih dari panggilan, sepertinya orang itu benar-benar sibuk sekali.

Aku ber-oh panjang, menganggukkan kepalaku walau Pak Sui tentunya tidak mengetahui hal itu. "Oh, iya.. gak apa-apa, pak. Makasih, Pak Cui. Sehat-sehat, pak."

"Kamu juga sehat-sehat, dadah."

"Dadah Pak Cui~" Jawabku sesaat sebelum akhirnya panggilan diputus dari Pak Sui.

Okay, haruskah aku bertanya langsung kepada orang-orang Noir? Tapi, aku gak tau siapa mereka, asli. Aku hanya tau mereka dari setiap kode nama yang mereka katakan dahulu saat mereka memperkenalkan diri dengan topeng yang mereka pakai. Tentu, aku tidak akan tau dengan jelas siapa mereka jika aku tidak mengetahui mereka dari kode nama.

Begitu sulit, kehidupan ini~

Emak,

Kenapa aku ngerasa ada banyak pasang mata ngeliatin? Padahal aku sendirian aja, jalan-jalan sore mau pergi ke tempat makan. Hiksrot, aku takut―bullshit, sih. Aku mah trouble maker, biasanya.

[ᴛʜɪʀᴅ ᴘᴇʀꜱᴏɴ ᴘᴏɪɴᴛ ᴏꜰ ᴠɪᴇᴡ]

Gadis bersurai hitam itu berbelok ke arah kanan, menunggu angkutan umum di halte bus terdekat. Meanwhile, beberapa mobil tadi masih tetap berada di tempatnya, selagi masih bisa melihat posisi gadis itu dengan jelas.

[Radio 69.07].

"Papi, izin nyulik." [Mia Eleanor].

"Gila kali, gas. Canda, canda." [Rion Kenzo].

"Kangen berat, uwe." [Selia Aisnith].

"Sabar kalian, kali ini kita sama sekali gak boleh ketahuan sebagai anak-anak Noir. Besok kita menunggu pemberitahuan dari atas, barulah kita boleh mulai pendekatan ke dia." [Caine Chana].

"Oke, mami." [Mia Eleanor].

"Siap, mamiku." [Echi Cerres].

"Copy." [Rion Kenzo].

"Yon, mending lo besok balik ke Capitalis, deh." Ujar Gin kepada Rion, tentu saja pria bersurai ungu itu langsung menoleh ke arah Gin. "Gak, ye. Gua ikut sama kalian. Lagian gua ada cabang di sini, aman itu."

"Tapi Gin bener juga, kalo kamu sibuk mending kamu fokus aja dulu sama kantor di sana. Soal [Name] di sini bisa diurus dulu sama yang perempuan." Caine ikut berkomentar, Rion pun sempat menghela napas panjang.

"Gua gak apa-apa ikut kalian, masalah di Capitalis udah gua urus. Sekarang kita bisa fokus sepenuhnya sama tugas kita, gua gak mau kita gagal ngejalanin tugas karena kita terlalu cuek sama dia."

╚═══════ ೋღ FAMILIA ღೋ ═══════╝

╚═══════ ೋღ FAMILIA ღೋ ═══════╝

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ᴛʜᴇ ɴᴏɪʀ ꜰᴀᴍɪʟɪᴀ : "ᴏᴜʀ ꜱᴀᴛᴜʀɴ." [ʜᴀʀᴇᴍ × ꜰᴇᴍ!ʀᴇᴀᴅᴇʀ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang