[[Epilog Yang Berakhir Belok]]

110 16 3
                                    


[ EPILOG ]

Adzan maghrib berkumandang, menggema ke seluruh penjuru kota bagai benang yang saling tersambung. Memberi ketenangan lahir batin bagi mereka yang sebelumnya berpanas-panasan seharian di sekitaran gedung DPRD agung. Mengiringi langkah para demonstran yang memutuskan untuk pulang baik sendiri-sendiri maupun dalam rombongan besar setelah dirasa urusan mereka di tempat terkutuk nan memuakkan itu telah selesai.

Demonstrasi telah usai.

Namun tak ada hasil memuaskan yang berhasil di dapat.

Beberapa sosok tampak pulang dengan wajah memberengut, punggung membungkuk dan melorot tak bersemangat. Beberapa lagi tampak masih ingin nongkrong-nongkrong di sekitaran gedung sembari merokok, sebelum akhirnya di tegur oleh bapak-bapak berbaju polisi dan di jewer kupingnya sampai memerah. Ada juga yang masih nyaman tiduran di halaman luas gedung yang amburadul berkat jejakan-jejakan para demonstran yang bukan main banyak dan ramainya.

Dua sosok yang menjadi sorot utama dalam cerita roman nyleneh tampak berjalan beriringan.

Ya, Cuma beringingan. Nggak ada gandengan tangan atau rangkul-rangkulan mesra, apa lagi sampai pelukan manja. Bisa-bisa mereka di cap homo sama orang-orang dan teman-teman kampus maupun sekolah—walaupun dari hati terdalam mereka sudah mengakui bahwa ternyata orientasi mereka sudah nyeleweng belok menikung tajam terjun curam.

Tapi kan ya mereka bukan apa-apa—belum lah.... Proses bang~

Keduanya sama-sama berhenti melangkah,

“Well... Akhirnya malah jadi begini ya...” ujar Rangga. Mencoba tersenyum walau merasa tidak puas. Si bocah STM yang kini sudah melepas seragam osis buluknya dan menyelempangkannya asal di bahu itu maklum mendengar nada bicara Mahasiswa di hadapannya yang sengaja di riang-riangkan.

“Jangan merasa terbebani begitu kak. Semua usaha kita ini pasti tetap bakal membuahkan hasil walaupun nggak banyak.” Ujar si bocah STM, coba meringankan si Mahasiswa. Akan tetapi tetap saja bagi Rangga yang—jujur saja—sudah berperan teramat aktif bahkan sampai hampir celaka di awal hingga akhir, menurutnya ending seperti ini teramat sangat mengecewakan.

Memang benar beberapa saat lalu akhirnya mereka bisa masuk ke dalam gedung DPRD. Akan tetapi sangat di sayangkan dan sangat tak di duga kalau ternyata gedung sebesar itu kosong melompong. Hanya ada aparat kepolisian yang sebelumnya berjaga di depan yang mengawal mereka masuk bersama TNI. Kemudian pers yang menerobos demi mendapat berita besar persoalan demonstrasi serentak di beberapa kota besar.

Dan anggota DPRD tak ada satupun yang menetap di sana.

Kesal, marah, kecewa, semua menumpuk menjadi satu. Membuat dada berguncang panas dan melepas makian lewat bibir yang kering karena efek dehidrasi dan kepanasan.

Tapi mereka sudah terlalu lelah. Makin merasa lelah karena kecewa. Seakan-akan usaha mereka hanya sia-sia belaka karena tak dapat bertemu salah satu pun dari wakil rakyat.

Sungguh miris dan sangat pengecut.

Namun Ketua BEM dan beberapa anggota Eksekutif dari Universitas lain tetap berorasi dan menyerukan keinginan sebagai wakil rakyat di hadapan para pers. Mengobarkan semangat para hadirin yang masuk ke gedung DPRD dan menikmati sejenak tempat luas nan nyaman juga dingin tersebut. Dan Rangga juga si bocah STM turut serta berdiri di samping Ketua BEM seperti dua orang kepercayaannya.

Rangga meringis ketika si bocah STM tiba-tiba menarik pipinya yang kebas karena terus memaksakan senyum sejak di tinggal sahabatnya Jhon Keling sampai akhirnya ia berjalan keluar gedung bersama Bocah STM yang senantiasa hadir dan berada di sisinya.

“Adududuhhh sakit hey!” Rangga akhirnya cemberut dan menepis sedikit tangan di pipinya. Si bocah STM tertawa kecil,

“Maaf, habis Kak Rangga kelihatan murung sekali sampai memaksa tersenyum gitu. Kalau memang kesal ya udah cemberut aja. Lagian demo nya juga udah selesai kok.”

DEMO BERUJUNG 'BELOK'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang