Bab 10

122 27 10
                                    

Elang meregangkan tubuhnya setelah hampir tiga jam mengamati layar labtop yang berada di depannya dan juga Irene, wanita yang duduk di sisi kirinya.

"Sepertinya aku semakin tua." Gerutunya sembari melepas kacamata. Tidak ada kecanggungan di antara keduanya, bahkan lelaki itu seolah lupa kalau dirinya dan Irene belum lama berkenalan.

"Usia anda kan hanya selisih beberapa tahun dari saya dok."

Elang menyandarkan kepalanya di sofa. "Katanya tadi pagi mau panggil nama? Kok dok lagi?"

Irene yang sedang fokus tiba-tiba teringat dengan percakapan mereka tadi pagi. "Rasanya aneh memanggil anda tanpa gelar, apalagi anda lebih tua dari saya."

"Mau panggil mas?" Godanya yang membuat Irene mengernyitkan dahi seraya menoleh dengan sorot mata tajam yang sudah cukup menjelaskan respon tidak setuju pada ucapan Elang.

"Kenapa?" Tanyanya dengan ekspresi tidak bersalah, seolah tidak sadar dimana letak kesalahannya.

Irene menghela napas. "Lebih aneh lagi kalau tiba-tiba anda menyuruh saya memanggil anda dengan sebutan mas." Ucapnya dengan ekspresi penuh ketidaksetujuan, membuat sang lawan bicara terbahak setelah mendengarnya.

"Kok malah ketawa?" Tanya Irene tidak mengerti.

"Ya gak papa, lucu aja." Ujarnya asal tanpa memperjelas alasannya tertawa.

"Lagipula anda bilang usia kita tidak terlalu jauh kan? Jadi bagaimana kalau mulai berbicara non formal?"

"Terserah anda lah dok." Ucapnya pasrah sebelum kembali mencondongkan tubuhnya ke arah depan, kembali mendekat ke layar labtop yang masih memutar rekaman CCTV di ujung gang rumah Irene.

Elang hanya tersenyum tipis lalu kembali berfokus dengan layar labtop di hadapan mereka dengan posisi masih bersandar di sandaran sofa, tentu saja berbeda dengan Irene yang mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat ke arah labtop.

"Tunggu..." Elang tiba-tiba bersuara. Lelaki itu meminta Irene untuk menghentikan video tepat di saat jam 23.20, artinya tiga puluh menit sebelum Irene sampai di rumahnya.

Seorang lelaki dengan topi dan jaket melewati CCTV yang berada di ujung gang. Tidak terlihat mencurigakan, tetapi juga tidak terlihat tenang layaknya seseorang yang hanya lewat.

"Tolong perbesar." Pinta Elang seraya ikut mencondongkan tubuhnya ke arah depan; mengamati setiap ciri-ciri dari tubuh lelaki berbadan tegap yang dia yakin mengenal dengan baik orang tersebut.

Ketemu.

Gumamnya dalam hati yang diiringi helaan napas. Dia yakin benar kalau lelaki di video itu adalah pelaku penusukan Cakra malam itu.

"Sepertinya dia pelakunya." Ucap Elang dengan penuh keyakinan. Dia tahu, setelah ini akan ada bantahan ataupun pertanyaan dari Irene tentang kesimpulannya.

"Tapi dia siapa?"

Elang menyatukan alis di bagian tengah keningnya.  Prediksinya meleset. Wanita itu tidak bertanya alasan dibalik kesimpulan yang dibuat Elang, justru seolah ia menyetujui kesimpulan Elang dengan meminta konfirmasi siapa sosok lelaki yang dicurigai oleh Elang.

"Sepertinya salah satu timmu." Ucapnya yakin.

"Resolusinya terlalu rendah." Ujarnya seraya mengembalikan video ke ukuran semula. "Mobil ini bisa jadi kuncinya." Ucapnya yakin dengan telunjuk kanan yang sudah menunjuk mobil yang terparkir di seberang gang.

"Jangan libatkan timmu dulu, aku takut penyelidikan pribadimu akan bocor."

Irene menggeleng. "Saya bisa mencari mobil itu sendiri. Saya pernah di divisi lalu lintas, jadi saya punya beberapa orang yang pernah saya kenal disana." Jelasnya dengan tatapan serius; direspon dengan anggukan kepala oleh sang lawan bicara yang sedang menatapnya dengan serius dengan jarak yang cukup dekat untuk keduanya.

Deheman dari Irene merubah suasana di antara mereka. Suasana serius tiba-tiba menjadi canggung saat keduanya sadar berhadapan dengan jarak yang cukup dekat. Irene menggeser tubuhnya menjauh, di sisi lain Elang tiba-tiba berdiri dari duduknya dengan canggung.

"Emmm..." Ujar Elang dengan tangan yang menggaruk leher belakangnya. "Anda belum makan kan? Biar saya buatkan makanan."

Tanpa menunggu jawaban sang lawan bicara, Elang sudah beranjak dari tempatnya berdiri. Lelaki itu dengan yakin melangkah menuju dapur yang tidak jauh dari ruang tamunya.

Dengan canggung, Elang menggulung lengan kemeja warna navy yang membalut tubuh tegapnya, memperlihatkan guratan otot yang terlihat jelas di kedua lengannya.

Setelahnya, tidak ada keraguan sama sekali dari lelaki tersebut. Tangannya benar-benar terampil menggunakan pisau dengan celemek yang ikut membalut tubuh bagian depannya.

Irene diam. Manik matanya berlarian mengikuti setiap gerak-gerik Elang yang berkutat di dapur. Lelaki yang biasa menampilkan diri sebagai sosok seorang dokter dingin dan tegas, hari ini berubah menjadi lelaki yang entah bagaimana caranya bisa terlihat sangat hangat di matanya.

Tanpa sadar dua sisi ujung bibir Irene melengkung ke atas dengan tipis. Senyuman itu sirna saat Elang melirik Irene, membuat keduanya tanpa sadar bertukar tatap hingga Irene memutus pandangannya dengan berpura-pura kembali fokus ke arah labtop.

Kenapa harus lihat kesini sih?

Rutuknya pada diri sendiri seraya berpura-pura kembali memfokuskan pandangannya ke labtop, membuat lelaki yang berkutat di dapur hanya tersenyum tipis sebelum kembali melanjutkan aktifitasnya.

Irene yang bingung harus bersikap seperti apa akhirnya menghela napas lega saat sebuah pesan masuk ke ponselnya. Sebuah pesan dari salah satu juniornya yang memberi info pemilik mobil dengan plat nomer yang berada di CCTV ujung gang rumah Irene.

"Dok, saya dapat data pemiliknya." Serunya bersemangat, membuat Elang mengangkat pandangan dengan senyum merekah di wajahnya.

"Nanti setelah makan kita temui orangnya."

Irene mengangguk. Senyum tipisnya kembali tersinggung di paras ayunya.

"Dok, alasan anda membantu saya benar-benar hanya karena anda pernah kehilangan seseorang di masa lalu?" Tanyanya tiba-tiba

"Seseorang yang mirip dengan anda lebih tepatnya." Jelasnya tanpa mengarahkan tatapan ke arah Irene, membuat sang lawan bicara semakin penasaran dengan sosok wanita yang dia yakin memiliki sisi istimewa di hati Elang.

"Mantan kekasih anda?"

Elang menoleh, mengarahkan pandangannya ke arah Irene yang sudah berpindah duduk di kursi ruang makan. "Mendiang istri saya." Jawabnya kemudian yang berhasil membuat Irene membeku.

Dia duda?

"Ya, saya duda." Jawabnya tiba-tiba seolah bisa membaca pikiran Irene, membuat wanita yang menatapnya lekat itu terkesiap dengan respon Elang.

Tidak, Elang tidak memiliki kemampuan untuk masuk ke pikiran orang lain. Bahkan walaupun indra penglihatan dan pendengarannya sangat tajam, dia tetap tidak bisa mendengarkan pikiran orang lain. Elang bisa merespon dengan cepat setelah melihat tatapan Irene yang seolah-olah mempertanyakan statusnya.

"Keluarga anda dimana?" Irene coba memberanikan diri. Bagaimanapun juga, sekarang ini Elang tahu sebagian besar tentang hidupnya, tetapi Irene bahkan tidak tahu apapun tentang hidup Elang selain dia adalah dokter dan "orang dalam" di rumah sakit karena dia masih keluarga dengan dokter Adrian, direktur utama rumah sakit.

Elang menghela napas seraya mengulas senyum. Tipis. Lelaki itu membawa dua miring, masing-masing satu di tangan kanan dan kirinya.

"Silahkan." Ucapnya ramah seraya meletakkan satu piring tepat di sisi Irene duduk.

"Terimakasih."

Elang hanya mengangguk. Lelaki itu mengisi dua gelas kosong dengan air putih yang sudah berada di meja makan.

"Saya sebatang kara." Jawabnya kemudian, seolah membawa kembali perbincangan beberapa saat sebelum Elang menyajikan makanannya.

"Maaf, saya tidak tahu."

Elang hanya tersenyum dengan anggukan pelan. "Tidak masalah, saya sudah terbiasa hidup sendiri."

Irene tidak membahas lebih jauh. Baginya ini sudah lebih dari cukup, dia tidak ingin dicap sebagai orang yang tidak tahu diri karena terus menanyakan privasi orang lain.




tbc ......

Manusia ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang