Bab 13

153 28 13
                                    

Elang yang baru saja keluar dari kamar tiba-tiba indra penciumannya dimanjakan dengan aroma masakan yang berhasil membuat perutnya meronta.

"Irene?" Gumamnya lirih seolah menebak siapa yang sedang memasak di dapur yang sangat jarang terpakai itu.

Langkahnya dengan cepat dia arahkan untuk menuruni anak tangga. Semakin lelaki itu turun, semakin kuat juga aroma masakan dari arah dapur.

Dua ujung bibirnya tertarik ke atas begitu sampai di dapur yang berada tepat di sisi kiri tangga. Dua sudut bibirnya tertarik ke atas dengan sorot mata penuh kerinduan. Tatapannya lekat, seolah sedang mengagumi salah satu ciptaan terbaik yang pernah diciptakan oleh sang pencipta.

Wanita dengan rambut yang dia gulung asal menggunakan bolpoin, kaos oversize warna abu-abu lengkap dengan celemek yang membalut tubuh bagian depannya benar-benar tampak mempesona di mata Elang.

Aku merindukanmu prameswariku.

Elang menghela napas setelah hanya bisa mengucapkan rindu dalam hati. Dia tidak tahu kalau Irene bisa begitu mempesona saat sedang di dapur.

Di masa lalu, Elang selalu terpana saat Btari sedang bermain dengan pedang dan juga panah, benar-benar seorang calon ratu yang sempurna di mata Elang saat itu. Btari yang sangat tegas dan berdarah dingin saat sedang di depan banyak orang tentu saja sangat berbeda ketika sedang melayani Wirabhumi sebagai seorang istri. Sorot matanya selalu ragu setelah malam pertama mereka, bahkan melayani Wirabhumi di ranjang seolah adalah sebuah hukuman yang harus dia lakukan seumur hidupnya.

Lagi-lagi, penyesalan menyeruak kuat dalam diri Elang saat mengingat malam pertama yang menyakitkan untuk sang permaisuri saat itu.

"Dok?"

"Ya?" Jawabnya terbata saat tertangkap basah oleh Irene.

"Dokter ngapain sandaran di tangga?" Celetuk Irene ramah, tentu saja dengan senyuman manis yang sangat berbanding terbalik dengan paras dingin dan tegasnya, sama persis seperti yang selalu Btari lakukan di masa lalu.

Elang memicingkan mata kesana kemari, mencoba mencari alasan agar wanita di hadapannya tidak curiga dengan keberadaannya.

"Mau masak sih." Jawabnya asal dengan ekspresi bingung yang justru berhasil membuat Irene tertawa.

"Duduk dulu dok. Habis ini matang kok makan malamnya."

Elang mengangguk. Lelaki itu menurut tanpa perlawanan. Tangan kanannya menarik satu kursi yang berada di sisi kanan meja makan sebelum memutarnya ke arah kiri, membuatnya bisa menatap langsing ke arah dapur, tempat Irene masih berkutat dengan masakannya.

"Kasus pemerkosaan bagaimana?" Tanyanya tiba-tiba, berusaha menghapus keheningan di antara mereka berdua.

"Saya sedang meminta tim untuk menyelediki. Menerima pengakuannya secara mentah-mentah cukup mencurigakan untuk saat ini." Jelasnya seraya membawa tiga mangkok untuk dia tata di meja makan.

"Apa yang kau curigai? Dia dijadikan kambing hitam?"

Irene menoleh dengan tatapan ragu, seolah memperjelas jawaban dari pertanyaan Elang.

"Bagaimana kalau anda selidiki keluarga terduga pelaku?"

Irene menyatukan dua alisnya di bagian tengah kening, mempertanyakan dasar dari pendapat yang baru saja Elang katakan.

"Mungkin anda akan menemukan sesuatu yang menjawab keraguan anda." Jelas Elang kemudian, seolah menjawab pertanyaan tersirat yang tertuju padanya.

Irene hanya mengangguk sebelum kembali meninggalkan meja makan menuju dapur.

Manusia ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang