Bab 7

143 29 18
                                    

Hentakkan kaki Elang terdengar jelas di lorong rumah sakit yang hanya berisi ruangan-ruangan para eksekutif rumah sakit. Dua punggung jari kanannya ia ketukkan di pintu ruangan yang bertuliskan direktur utama; ruangan milik dokter Adrian.

Sebuah izin diberikan sebelum Elang mendorong kenop pintu, memperlihatkan seluruh isi ruangan yang cukup sering dia masuki akhir-akhir ini.

"Ada apa?" Tanyanya tanpa basa basi setelah menutup pintu di belakangnya.

"Anda tahu ada yang mengikuti mobil anda tadi pagi?"

Elang mengernyitkan kening. "Mengikuti ku? Untuk apa?"

Gelengan kepala dari dokter Adrian menjawab semua pertanyaan Elang sekaligus.

"Saya dengar anda membawa pulang istri anda?" Selidik dokter Adrian. Tatapannya serius kali ini, memperjelas bahwa ucapannya tidak berniat menggoda ataupun sekedar bercanda.

"Aku tidak mungkin mengizinkannya tidur di kantor."

"Tapi dia bukan Gusti Putri, tuan muda." Jelas dokter Adrian frustasi.

"Biarkan aku memastikannya dulu." Ucapnya dengan tatapan yakin walaupun nada bicaranya terdengar menyimpan lara yang begitu dalam.

Adrian mendesah pelan. Tuan mudanya itu memang selalu keras kepala, tapi baru kali ini dia keras kepala karena seorang wanita. Entah sedalam apa cintanya pada wanita dengan gelar Gusti Putri dulu, tetapi lelaki itu benar-benar tidak pernah goyah sedikitpun dengan wanita lain yang berada di sekitarnya setelah kepergian istrinya.

"Apa anda begitu mencintai Gusti Putri Btari?"

Elang tidak memberikan jawaban. Seharusnya tanpa ia memberikan jawaban sekalipun, lelaki di hadapannya sudah tahu.

Adrian di ajarkan untuk tidak pernah memanggil wanita yang dicintai tuan mudanya itu dengan namanya langsung. Karena di tradisi terdahulu, yang diizinkan menyebut nama seorang calon ratu hanyalah raja, ratu dan suaminya sendiri.

Elang menyandarkan tubuhnya. Manik matanya menatap ke satu sudut ruangan tempat mereka berbincang. Lelaki itu menghela napas pelan sebelum akhirnya bersuara untuk menceritakan bahwa sebenarnya Btari tidak pernah ingin menikahinya. Wanita itu bahkan menyukai lelaki lain saat dipinang oleh lelaki berstatus yuwaraja itu.

"Dia siapa?" Adrian tidak mampu lagi menyembunyikan penasarannya. Elang hanya tersenyum, lelaki itu menoleh ke arah Adrian dengan netra yang berfokus ke arah lain.

"Putra perdana menteri sekaligus teman kecilnya." Jelasnya yang membuat Adrian mengangguk mengerti.

"Berarti beliau menikahi anda dengan terpaksa?"

Elang mengangguk bersalah. "Mungkin kalau saat itu aku tidak serakah untuk menikahinya, dia tidak akan berakhir tragis." Lanjutnya dengan ekspresi menyesal saat mengingat kejadian tragis yang merenggut satu-satunya wanita yang dia cintai.

"Maaf tuan muda, tetapi kakek bahkan ayah tidak pernah menceritakan kalau anda memiliki seorang selir. Yang mereka sebut hanya selalu Gusti Putri."

"Bagaimana mau disebut sedangkan aku memang tidak memiliki selir." Ujarnya jumawa; merasa menjadi laki-laki paling setia di dunia.

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Maksud saya kenapa anda tidak mengambil selir? Bukankah sebagai seorang calon raja anda diperbolehkan untuk mengangkat selir?"

"Itu syarat dari Btari. Dia mau menerima pinanganku dengan syarat hanya dia yang akan menjadi Prameswari dan hanya dia satu-satunya wanita yang akan menjadi istriku. Tidak ada selir, tidak ada gundik. Hanya dia seorang."

Manusia ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang