Bab 17

121 26 18
                                    

Mengandung unsur dewasa.

Wirabhumi yang sedang duduk di sebuah singgasana di kamarnya tampak tersenyum penuh kemenangan saat Btari, istrinya sedang berdiri di depannya dengan balutan kain tipis yang melilit tubuhnya ketat, memperlihatkan pahatan indah di setiap inchi tubuh Btari.

"Ada apa kiranya yang mulia meminta hamba kemari? Bukankah malam ini bukan waktunya untuk kita berbagi kamar?"

Wirabhumi tersenyum sinis. Lelaki itu meraih cawan yang berada di sisi kanannya.

"Apa istriku tahu isi dari cawanku ini?" Wirabhumi mengarahkan cawan ke arah Btari yang berdiri sedikit jauh darinya.

Btari hanya menggelengkan kepala. Tatapannya menunduk, lebih tepatnya dia enggan melihat Wirabhumi yang sedang menelanjanginya melalui pandangan mata.

"40 butir merica, 40 lembar daun sirih, dan 40 bawang lanang." Ucapnya dengan ekspresi penuh penekanan, seolah memperjelas apa yang diinginkannya malam ini saat menjelaskan ramuan yang mampu membuat peminumnya menjadi jauh lebih perkasa saat di atas ranjang.

Btari hanya mampu menunduk, beberapa kali wanita dengan rambut yang terurai itu menelan saliva tanda kegundahan sedang menyelimuti dirinya.

"Bukankah yang mulia ingin menerapkan asmaragama dengan benar? Kita bahkan belum ada di tahapan asmaranala, jadi bagaimana bisa anda menginginkan tahapan akhir asmaragama?" Btari benar-benar berusaha memberanikan diri. Dia tidak ingin menyerahkan tubuhnya kepada lelaki yang bisa dibilang menikahinya dengan paksa.

Wirabhumi menenggak habis minumannya. Diletakkannya cawan di sisi kanannya, lelaki itu bangkit dari duduknya lalu mendekati sang istri. Dengan satu kali tarik, lelaki itu berhasil mengangkat wajah sang istri. Tatapannya penuh kemarahan, tidak ada lagi tatapan penuh kasih sayang dan kelembutan seperti malam-malam sebelumnya saat Wirabhumi masih berusaha untuk tidak menyentuh Btari.

"Lantas, haruskah aku membunuh Sambara supaya kau bisa mencintaiku?" Wirabhumi bertanya dengan penuh penekanan, tangannya menekan kuat rahang sang istri, membuat wanita itu mengernyit kesakitan.

Btari melawan tatapan Wirabhumi, tangannya mengepal bahkan wanita itu menggertakkan giginya. Kalau saja lelaki di depannya bukanlah seorang Yuwaraja, dia pasti sudah menghunuskan pedang ke leher lelaki itu.

Wirabhumi melepaskan tangannya dari rahang Btari. Membuat wanita itu menghela napas lega dengan rasa sakit yang tertinggal di bagian rahangnya.

"Buka kain mu! Aku tidak akan menunggu lagi malam ini." Ujar Wirabhumi seraya berjalan ke arah ranjang.

"Haruskah yang mulia melakukan ini kepada saya?" Tanyanya dengan nada bergetar.

"Memang kenapa? Kalau kau saja bisa bercanda dengan bebas bersama Sambara, lantas kenapa aku tidak bisa memiliki istriku sendiri di atas ranjang?"

Btari mengangkat pandangannya. "Jadi ini karena kakang Sambara? Bukankah anda tahu bahwa..." Btari tidak melanjutkan kalimatnya saat Wirabhumi menghunuskan pedang tepat di lehernya.

"Sekali lagi kau menyebut nama Sambara dengan sebutan kakang, aku pastikan seluruh keluarga patih dan keluarga panglima perang akan aku penggal kepalanya malam ini di alun-alun kota. Lakukan kalau kau ingin melihat keluarga Sambara dan keluargamu berakhir di tempat pancung."

Btari hanya bisa menatap nanar lelaki di hadapannya. Sejak awal dia tahu benar, lelaki ini memang sangat bengis, tapi dia tidak tahu kalau kebengisan Wirabhumi juga akan menyasar padanya.

Manusia ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang