Bab 14

128 30 14
                                    

Tidak semua hal di dunia ini memiliki alasan yang bisa dijelaskan, termasuk alasan kenapa kekuatan Elang tidak berfungsi sepenuhnya kepada Irene. Bahkan ayah dari Adrian sekalipun tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi.

Tidak ada literasi yang bisa menjelaskan kenapa kekuatan Elang tidak bekerja pada Irene, karena memang wanita itu adalah orang pertama dan masih satu-satunya orang yang bisa disebut kebal dengan kekuatan Elang.

"Dok?"

Elang menoleh. Cakra tersenyum tipis sembari berjalan perlahan ke arah ruang tamu. Langkahnya mendekati Elang yang sedang berkutat dengan bukunya di ruang tamu.

Hari ini, hampir satu minggu sudah mereka bertiga tinggal dalam satu atap, dan di mata Cakra, Elang tidak sedingin apa yang orang-orang katakan di rumah sakit.

"Boleh saya duduk?" Ucapnya meminta izin.

Elang menunjuk sofa di depannya, seolah memberi kesempatan kepada Cakra untuk mengambil ruang kosong pada sofa single berwarna hitam tersebut.

Pelan, dengan dahi yang berkerut, lelaki itu mencoba duduk; helaan napas lega menjadi penanda bahwa dia sudah berhasil duduk walaupun dengan sedikit kesakitan.

"Terimakasih ya dok. Terimakasih sudah mau membantu kakak saya." Cakra membuka suara, memangkas keheningan yang tercipta di antara keduanya.

Elang tersenyum. Tipis. "Sama-sama." Jawabnya datar dengan suara rendah yang mampu membuat siapapun merinding saat mendengarnya.

"Saya bersyukur dok, malam itu yang pulang ke rumah adalah saya. Saya tidak tahu bagaimana jadinya kalau malam itu yang pulang ke rumah bukan saya, tapi kakak saya." Suara rendahnya bercampur dengan tatapan mengawang yang Cakra arahkan ke langit-langit rumah Elang.

"Tapi kakakmu bisa bela diri kan?"

Cakra mengangguk. "Tapi tidak ada jaminan juga kalau dia tidak akan terluka kan dok?"

Benar. Tidak ada jaminan kalau Irene bisa mengalahkan Sakti, lelaki yang malam itu menyerang Cakra. Tetapi kalau dilihat dari kemampuan bertarung Irene, seharunya wanita itu bisa dengan mudah melumpuhkan Sakti.

"Malam itu, dokter mengantarkan kakak saya pulang?"

"Hmm?" Elang terhenyak saat pertanyaan Cakra berhasil menariknya keluar dari lamunan. "Nggak sih." Jawabnya canggung.

Elang kebingungan harus memberi jawaban seperti apa. Malam itu dia tidak mengantar Irene, lebih tepatnya lelaki itu mengikuti Irene. Tetapi tentu saja Elang tidak bisa memberitahukan bahwa dia mengikuti Irene, dia tidak ingin dicap sebagai lelaki mesum karena mengikuti seorang wanita sampai ke rumahnya.

"Lalu?" Cakra menelisik Elang yang terlihat canggung dan ragu di hadapannya.

Elang menghela napas. Dengan tenang lelaki itu menutup buku yang sedari tadi berada di pangkuannya. "Saya hanya tidak sengaja melewati jalanan rumah kalian." Jelasnya berusaha setenang mungkin walaupun dia sadar penjelasannya sangat tidak masuk akal.

Cakra tidak menjawab. Dua ujung bibirnya tertarik tipis saat sang lawan bicara tampak canggung dengan percakapan mereka.

"Saya hanya punya kakak saya dok, tidak punya siapa-siapa lagi. Setelah kecelakaan orang tua kami, mba Irene yang menjadi sosok ayah, ibu dan juga kakak untuk saya. Dia kerja siang malam demi bisa mewujudkan mimpi saya untuk jadi dokter." Cakra bercerita dengan tatapan menerawang jauh, seolah sedang membawa kenangan lamanya tentang Irene.

Disaat keduanya kembali hening, pintu rumah Elang tiba-tiba terbuka. Irene, wanita dengan rambut panjang itu membeku saat mendapati dua orang di ruang tamu sedang menatap ke arahnya.

Manusia ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang