Bab 15

90 24 14
                                    

Suara ketikan pada papan keyboard komputer menjadi satu-satunya suara yang berhasil membunuh keheningan di sebuah ruangan yang berukuran tidak terlalu besar.

Irene, wanita cantik berpangkat inspektur polisi satu tampak berkutat dengan komputer, menulis beberapa laporan yang harus dia serahkan kepada atasannya. Beberapa kali tombol backspace dia tekan dengan helaan napas kasar.

"Gak beres-beres ini kerjaan." Gerutunya frustasi.

Di tengah rasa frustasi, pintu ruangannya terdapat suara ketukan, membuat fokusnya beralih.

"Masuk!" Perintahnya.

Deritan lembut pintu yang terbuka membuat Irene bisa melihat siapa sosok yang ingin menemuinya.

Sakti.

Lelaki yang sangat ingin dia hajar setelah membuat adiknya nyaris meregang nyawa pada malam kejadian.

"Komandan mencari saya?" Ujarnya sopan.

Irene mengangguk. Sebisa mungkin dia coba meredam emosinya sendiri, terutama saat lelaki itu duduk tepat di hadapannya.

"Ada kemajuan tentang kasus adik saya?" Tanyanya dengan sorot mata datar, seolah ingin menguji seberapa jauh respon yang bisa diberikan oleh Sakti.

"Masih nihil komandan. Tidak ada CCTV di sekitar rumah anda." Jelasnya.

"Di ujung gang rumah saya, ada CCTV disana." Irene menganalisa ekspresi Sakti yang terlihat cukup terkejut. Entah karena dia tidak tahu kalau di sana ada CCTV atau karena dia memang sudah menghilangkan barang bukti.

"Tapi bukankah susah menganalisa siapa kemungkin pelaku? Maksud saya, rumah anda ke ujung gang berjarak tiga rumah, jadi tidak ada bukti langsung yang bisa mengarah kepada pelaku."

"Tiga rumah? Kok bisa yakin kalau dia ke arah kanan rumah saya? Padahal kalau dia ke arah kiri rumah saya, jaraknya hampir 6 rumah kalau mau ke ujung gang." Tanya Irene curiga.

"Ma.. maksud saya, emm.. karena yang paling dekat ke ujung gang ya lewat sisi kanan rumah anda, kalau ke sisi kiri kan terlalu jauh. Ini hanya analisa pribadi komandan." Jawabnya canggung dengan pandangan yang tidak fokus pada sang lawan bicara, Irene.

Irene menghela napas. Sakti berhasil dibuat kehilangan kata-kata hanya dengan satu kali pancingan. Kedua tangan Sakti saling bertaut, beberapa kali juga tangan kanannya menggaruk bagian hidung, khas orang sedang berbohong.

"Ambil CCTV di dua ujung gang sekarang, setelah itu berikan padaku."

"Tapi bukannya penyelidikan ini di berikan ke tim 2 komandan?" Sela Sakti dengan cepat. Raut wajah ketakutan seolah berusaha dia sembunyikan.

"Apa aku tidak boleh ikut menyelidiki?" Irene bertanya dengan tatapan penuh intimidasi, membuat Sakti kembali tidak bisa berkutik.

"Bawakan aku rekaman CCTV dari dua gang itu hari ini juga. Tidak ada protes, tidak ada penolakan. Paham?"

Sakti hanya bisa menelan saliva. Lelaki itu dibuat tidak berkutik untuk kesekian kalinya. Tatapannya bingung, isi kepalanya berkecamuk bagaimana dia harus menyelesaikan semua hal yang telah dia lakukan.

"Bisa?" Irene mengulang pertanyaannya.

Ekspresi pasrah menyelimuti Sakti kala lelaki itu akhirnya mengangguk, mengiyakan permintaan Irene yang tidak mungkin dia tolak. Entah apa yang akan terjadi setelahnya, yang jelas Irene sudah sangat siap untuk menyeret siapapun yang terlibat dalam penyerangan adiknya ke dalam tahanan.

*******

Irene berhenti tepat di depan kantor polisi saat Elang melambaikan tangan padanya. Kali ini lelaki itu tidak membawa mobil, tapi sebuah motor gede yang pernah Irene lihat terparkir di garasi rumah Elang.

Manusia ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang