Bab 19

106 31 18
                                    

Irene melempar tubuhnya di sofa rumah Elang. Cakra sudah kembali ke asrama yang berada di dekat rumah sakit. Sedangkan dirinya? Elang melarang dia untuk pulang ke rumah dengan alasan takut penyerang Cakra kembali.

Irene tahu itu hanya alasan klasik dari Elang, tetapi anehnya wanita itu merasa tidak keberatan saat Elang memintanya untuk tinggal di rumah yang sama.

"Baru pulang?"

Irene menoleh ke arah tangga sebelum akhirnya mengangguk dengan wajah lelah. Elang menuruni anak tangga dengan cepat, kakinya ia langkahkan mendekati sang kekasih yang sedang terkapar di atas sofa.

"Mandi terus ganti baju!" Ujar Elang memberi perintah dengan nada lembut.

Irene menghela napas. "Gak usah mandi aja deh, males."

"Jorok!" Cibir Elang masih berdiri di samping sofa, tempat Irene berbaring.

"Biarin! Walaupun jorok mas juga tetap sayang kan?" Irene menjulurkan lidah seolah mengejek sang kekasih yang hanya bisa menggelengkan kepala heran.

"Mau mandi sendiri apa aku mandiin?"

"Enak aja!" Ujar Irene ketus. Wanita itu bangkit dari tidurnya agar Elang bisa duduk di sampingnya.

"Duduk mas,-" Irene menepuk sisi kosong sofa yang ada di samping kanannya. "-aku mau charge energi dulu sebelum mandi." Lanjutnya kemudian.

"Charge energi?" Tanyanya bingung. Walaupun tidak paham, Elang tetap menuruti kemauan sang kekasih. Lelaki itu duduk tepat di sisi kosong yang Irene berikan.

Irene menghela napas lalu tiba-tiba memeluk sang kekasih. "Jangan protes! Aku cuma mau charge energi." Irene memberi peringatan awal setelah menyandarkan kepalanya di dada bidang sang kekasih.

Tidak ada penolakan dari Elang, lelaki itu justru tersenyum lembut. Tangannya terangkat, mengusap lembut kepala Irene yang sedang bersandar di dadanya.

"Tadi hasilnya gimana?"

Irene menghela napas. "Surat penangkapannya keluar, tapi Sakti bilang motifnya karena gak suka sama aku yang naik pangkat."

Kali ini Elang yang menghela napas. Dia tahu kalau ini tidak akan mudah. Orang-orang seperti Sakti dan juga orang yang mengaku sebagai pelaku pemerkosaan pasti akan menutup rapat sosok yang memerintah mereka. Terutama Sakti yang harus berjuang dengan kesembuhan sang nenek, satu-satunya keluarga yang dia miliki.

"Coba pakai taktik lain."

"Hmm?" Irene menjauhkan kepalanya dari dada bidang sang kekasih. "Maksudnya gimana mas?"

Elang tersenyum lembut. Tangan kanannya bermain-main di rambut Irene. "Coba kamu kasih tawaran, kalau dia mau ngaku, neneknya akan kita urusi sampai dia keluar dari penjara. Gimana?"

"Kita?"

Elang mengangguk. "Iya kita. Ya gak tau sih dia akan dipenjara sampai kapan, tapi yang jelas kamu bisa janjikan ke dia kalau kita bisa urus semua kebutuhan neneknya sampai dia bebas. Gimana?"

Irene diam. Isi kepalanya coba berpikir, mencerna apa yang baru saja dikatakan sang kekasih.

"Tunggu deh mas..." Irene melepas pelukannya. Wanita itu kembali duduk tegak di sofa. "Kamu masih hutang penjelasan ke aku."

"Penjelasan apa?"

"Penjelasan tentang siapa kamu."

Elang menggaruk kepalanya. "Aku bingung jelasinnya ke kamu."

"Ya udah jelasin secara gampang aja mas." Desak Irene yang merasa Elang terus berusaha menyembunyikan siapa dia sebenarnya.

"Ikut mas yuk."

Manusia ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang