'Bilamana maaf ini tidak bisa tuan dan nona terima, maka kami yang akan menanggung kebencian tuan dan nona atas tindakan yang kami lakukan. Kami hanya pribumi yang mengharapkan keadilan. Kami hanya manusia lemah yang pasti akan menerima karmanya apabila yang kami lakukan salah.
Maafkan kami tuan dan nona. Kami menyesali perbedaan yang menjadi dinding penghalang kita.
Kami menyesali, keserakahan itu yang membuat kita saling membunuh dan membenci.
Bilamana maaf ini tak tersampaikan, yang kami tunggu selanjutnya hanyalah kematian.'
Lerajee gemetar meremat buku dan surat yang terbungkus amplop merah. Sang fajar bahkan baru menyingsing, namun surat keramat itu telah tiba di rumahnya. Mereka selalu mengenalnya sebagai Cendana Merah. Penulis surat yang selalu dikirimkan dalam amplop merah sebelum petaka tiba. Lain dengan Lerajee, semua orang yang menerima surat itu ketakutan, menebak apa yang akan terjadi pada mereka. Sampai seorang jongos berlarian dari luar rumah menyampaikan pesan pada sang nona, bahwa semalam, hanya berselang beberapa jam dari surat itu tiba di rumah mereka, seluruh stasiun dipenuhi oleh orang-orang Eropa yang ingin melarikan diri dari kota ini.
Bagaimana dengan keluarganya? Gadis itu terdiam sebab tahu bahwa ia mengenali penulisnya.
Bukan sang Cendana Merah dalam ingatan orang-orang. Sebab itulah ia tidak bisa menutupi gemetar di tangannya dan air mata yang menetes dari kedua netranya. Ia mengusap jejak basah di pipinya, lantas menggebrak kencang pintu kamar Nyai. Sementara dua jongos sebagai pengantar kabar tadi hanya saling melempar tatap dari luar jendela kamar.
"VICTOR! BUKA PINTUNYA!"
"VICTOR!!"
"Victor, aku tahu kau mendengarku. Tapi tolong buka pintunya! Victor!"
Tidak mendapatkan jawaban apapun, gadis itu berbalik pada kedua jongos yang masih setia di tempatnya. Teralis kayu di kamar ibunya masih pasti bisa mereka hancurkan.
"Bantu aku merusaknya."
Mereka menatap nona mereka tidak percaya. Satu sisi mereka merasa iba dengan drama panjang yang dialami nona mereka. Namun di sisi lain, mereka jelas takut bahwa ini akan berimbas pada pekerjaan mereka. Kile ataupun Victor bisa saja membunuh mereka jika berani melanggar perintah.
"Kalian mau tetap berdiri seperti batu atau membantuku?" kali ini nada suaranya berubah menjadi dingin.
Salah satu dari mereka akhirnya memberi isyarat untuk menuruti saja permintaan sang nona. Di luar dinding rumah ini suasana sedang genting dan mereka tidak tahu dalam hitungan jam atau menit, apa yang akan terjadi di rumah ini. Sebab mereka juga tidak tahu, apa yang ditulis dalam surat dan buku itu. Membaca saja mereka tidak bisa.
Gadis itu mengambil sebuah kursi rias dan melemparnya dengan kencang ke arah jendela membuat seisi ruangan menjadi berantakan. Gadis itu berkali-kali mencari celah untuk menghancurkan jendela ataupun pintu kamarnya sekalipun hasilnya tetap sama. Ia masih saja gagal dan bahkan hampir menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lerajee
Historical FictionLerajee tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai setengah pribumi. Ketika semua orang hanya memandangnya sebagai anak iblis sebab namanya yang disematkan oleh sang ibu. Direndahkan oleh orang disekitarnya dan hidup dalam pengabaian ayahnya. Ler...