Historical Fiction #4
By: Alwaysje
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
[Tamat]
Lerajee tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai setengah pribumi.
Ketika semua orang hanya memandangnya sebagai anak iblis sebab namanya yang disematkan oleh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Maaf baru bisa update bab baru selamat membaca
>>>>>
Dalam kehidupannya, untuk menjadi arogan adalah suatu hal yang lumrah. Ia bukan sekedar lahir dari darah pribumi biasa. Derajatnya sama dengan orang-orang yang menjajah tanahnya. Bukan sebab harta, melainkan sebab bahwa kau adalah manusia.
Galuh Setodirejo hanya percaya pada tuhan yang selalu mengiringi langkahnya. Satu persatu ketika alas kakinya perlahan dengan percaya diri menapak pada lantai, senyap tanpa ada suara ketukan di setiap langkahnya. Kain batik yang membelit kakinya, jas yang menutup tubuhnya, keris tajam yang tersembunyi di balik punggungnya. Galuh tetap percaya bahwa dirinya pantas berada disana.
Bertahun-tahun keluarganya tidak pernah berani keluar dari halaman rumah. Merasa terhina setelah mereka dengan mudahnya menghancurkan tanahnya. Kini setelah semua kembali seperti sedia kala, sudah saatnya untuk pewaris yang berhak atas harta dan kuasa ayahnya, kembali menegakkan kepala.
Seketika galuh duduk di atas kursi atas namanya, ia disambut dengan suara gamelan dan para penari di tengah aula. Aroma wangi yang semerbak menyebar hampir ke seluruh ruangan berasal dari kelopak mawar dan melati yang sengaja ditaburkan. Kaki telanjang mereka menginjak setiap kelopaknya dan bergerak gemulai menyibak selendang seirama musik dimainkan.
Galuh tanpa sengaja bertatapan mata pada satu di antara para penari itu. Seni yang tidak bisa ia jelaskan secara logika adalah bagaimana seorang penari bisa memikat seseorang hanya dari tatapan mata mereka.
"Mereka pakai susuk?" tanya Galuh pada asistennya.
"Tidak ada yang tahu ilmu apa yang mereka gunakan, tapi banyak dari para penari itu yang berakhir menjadi gundik," jawab sang asisten.
Tapi ada yang membuat Galuh tertarik pada penari itu.
Gerakan mereka tidak seperti gerakan tarian yang sering diperagakan anak-anak desanya ketika berlatih. Ada sesuatu yang berbeda namun Galuh tidak menemukan dimana perbedaannya. Terlalu halus perbedaannya.
Lalu ketika satu dari mereka mampu mengunci arah pandang Galuh. Daya pikatnya dan terakhir adalah senyumannya.
"Raden, di sebelah sana! Thomas D'Aureville."
Pemuda itu melihat pada seorang pria yang berjalan dan duduk pada meja utama.
"Thomas D'Aureville, apa bisnis yang dijalankannya?" tanya Galuh pelan.
"Pabrik gula dan pertanian. Thomas D'Aureville bekerjasama dengan pemerintah kerajaan Netherlands untuk ekspor gula dan beras dalam skala besar sesuai perjanjian ke negaranya. Sumber kekayaan Thomas ada disana."
"Kopi? Karet?" tanya Galuh.
"Ada. Tapi itu hanya aset sampingan."
Pemuda itu membeliak menatap asistennya tidak percaya. "Aset sampingan?" Lebih tepatnya orang gila mana yang menyebut perkebunan kopi dan karet sebagai aset sampingan? kalau bukan orang kaya raya seperti Thomas D'Aureville.