Historical Fiction #4
By: Alwaysje
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
[Tamat]
Lerajee tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai setengah pribumi.
Ketika semua orang hanya memandangnya sebagai anak iblis sebab namanya yang disematkan oleh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
akhirnya aku update lagii selamat membaca
>>>>>
Alunan gamelan jawa sudah seperti teman untuk menghapus sepinya. Selendang di bahunya, membawa kehangatan yang tidak akan bisa diberikan oleh orang lain padanya. Serta gerakan kakinya yang tanpa alas, seperti membawanya pada langkah yang tidak mungkin bisa orang lain kejar. Ia seperti hidup dalam dunianya. Tanpa suara, hanya ada tubuh yang bergerak sebagai pesan menggantikannya berbicara.
Gerakannya terhenti ketika matanya menangkap kehadiran seseorang. Menghampirinya kemudian mereka berakhir saling memandang satu dengan lainnya.
Koespatni berjalan menjauh, melewati Galuh dan diikuti oleh pemuda itu. Selendangnya ia lepas di sembarang tempat, mengambil cerutu yang sudah menjadi candu untuknya. Lintingan tembakau itu adalah saksi betapa frutrasi dirinya selama ini.
"Berapa orang yang sudah anda hancurkan bisnisnya?"
"Hampir seluruhnya."
Koespatni mengangguk. Menghembuskan asap dari bibirnya. "Jangan kecualikan siapapun."
Seperti sebuah permintaan. Galuh memejamkan matanya sejenak untuk merenungi maksud dari wanita itu. "Bagaimana dengan putri anda?"
Wanita itu membuang muka. Menahan agar tidak ada cairan bening yang lolos dari pelupuk matanya. Kemudian ia menunduk sejenak, sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaan dari pemuda di depannya ini.
"Saya tahu yang saya lakukan." Koespatni membuang sisa cerutu di tangannya. Rumah ini adalah tempatnya yang tidak boleh siapapun tahu bahwa ia terlibat di dalamnya.
Awal mulanya Galuh bertanya, apakah mereka hanya sekelompok wanita yang kehilangan arah karena kemiskinan dan berakhir menjadi penjahat? Berakhir menjadi pembunuh, menjadi korban dari keserakahan orang-orang eropa. Tapi lebih kelam dari yang ia duga. Koespatni membangunnya untuk melindungi wanita-wanita yang terlantar setelah diusir tuan mereka dan kehilangan buah hati mereka. Putus asa? benar, mereka semua putus asa, tapi bukan hanya sebab kemiskinan.
Gadis-gadis muda adalah korban perang. Ada sebagian dari mereka janda yang masih gadis karena suami yang baru dinikahinya harus bergerilya dan tewas. Belum sempat memadu kasih, tapi mereka sudah harus menerima nasib. Ada dari mereka yang terusir sebab hamil, menyalahi perjanjiannya dengan sang tuan untuk tidak hamil, hingga bayinya harus lahir dan besar di rumah pelacuran seperti ini.
Semua salah siapa? salah para Eropa itu.
Koespatni tidak ingin membiarkan mereka menderita begitu saja, hingga dibangunlah rumah ini, tempat bisnis, sekaligus rumah untuk orang-orang sepertinya pulang.
"Anda tidak memiliki dendam pada Kile Roell, lantas mengapa keluarga anda harus dikorbankan juga?" Galuh memicing hampir tersulut emosinya saat mengingat kembali, seorang gadis yang pernah mencuri perhatiannya di rumah ini datang dan menceritakan segalanya. Latar belakang dibangunnya rumah ini dan bagaimana gadis itu bisa berakhir disini. Semuanya adalah karena dendam.