Historical Fiction #4
By: Alwaysje
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
[Tamat]
Lerajee tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai setengah pribumi.
Ketika semua orang hanya memandangnya sebagai anak iblis sebab namanya yang disematkan oleh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Insiden itu menciptakan jarak permusuhan antara Kile dan Patricia.
Lerajee tidak mempermasalahkan itu. Semua karena salahnya. Bahkan bekas luka memanjang itu tidak berarti apapun untuknya. Tapi Patricia adalah Patricia yang keras kepala. Sekali ia menandai orangnya, maka sampai kapanpun akan begitu. Sekali ia membela Lerajee, maka seterusnya akan seperti itu. Peduli setan dengan Kile yang semakin murka padanya. Diusir pun Patricia masih bisa membiayai dirinya sendiri.
Berkat itu, Lerajee jadi benar-benar canggung berada di rumah. Setiap hari ia ingin kabur dan hidup sebagai gelandangan kalau perlu. Ah, intinya Kile-- tidakkah pria itu sedikit saja punya hati nurani. Baiklah katakan Lerajee punya rumah yang besar dan nyaman, tapi itu milik Kile. Lerajee memiliki pengasuh yang menemaninya kemanapun dirinya pergi, tapi itu atas perintah Kile. Lerajee punya berderet gaun sutra dan katun yang berharga mahal, tapi itu uang Kile. Dan apakah Lerajee senang dengan itu? Tidak, semua karena Kile.
"Kenapa kau terlihat tidak nyaman?"
"Karena papa."
Lerajee sepertinya salah dalam memilih kalimat untuk menjawab pertanyaan dari Kile. Pria itu meletakkan garpu dan pisau steaknya dan menatap Lerajee dengan satu alis yang terangkat.
"Papa?"
"Tidak! saya salah bicara."
Kile kehilangan selera makannya.
"Nyai memutuskan untuk kembali ke desanya."
Lerajee menegak minumannya dengan tenang. Lalu menghela nafas berat. "Meninggalkan saya?"
"Kau ingin ikut bersama nyai?" Kile bertanya dengan tajam.
"Bersama wanita yang melahirkan saya dengan setengah hati? Disini atau bersama mama, keduanya tidak menguntungkan bagi saya," balas Lerajee tidak kalah tajam.
Kile menatap putrinya yang masih tetap makan dengan tenang. Tangannya bersedekap di depan dada. Lerajee sudah lebih besar dari sebelum-sebelumnya. Lebih cantik dan lebih cerdas.
"Membiarkan mama pergi, bukankah justru papa yang rugi?"
"Kau pikir begitu?" tanya Kile.
Lerajee mengangguk. Di meja makan adalah satu-satunya kesempatan untuk mereka bicara santai. Tanpa bentakan, tanpa kenakalan. Setidaknya hanya di meja makan inilah Lerajee merasa tidak nyaman sekaligus tenang di dekat Kile.
"Patricia bilang, mama dijual orangtuanya. Seharusnya mama berada di sini selama sisa hidupnya. Atau mereka memilih untuk membayar biaya akibat ulah putrinya yang pergi sesuka hatinya."
Apa yang dikatakan Lerajee memang benar dan Kile setuju dengan itu. Biarah Lerajee berpikir sesuai dengan apa yang ingin dia pikirkan. Tanpa harus menjelaskan panjang lebar tentang hubungan Kile dan Nyai Koespatni yang sebenarnya. Apapun yang gadis itu lakukan dan pikirkan, Kile tidak akan ikut campur.