Historical Fiction #4
By: Alwaysje
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
[Tamat]
Lerajee tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai setengah pribumi.
Ketika semua orang hanya memandangnya sebagai anak iblis sebab namanya yang disematkan oleh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Benar, ini sama seperti kisah yang Galuh ceritakan padanya. Mereka saling melindungi sekalipun mereka tidak benar-benar ingin. Baik Ellan maupun Galuh tidak saling terikat antar sebuah hubungan, tapi ada benang tak kasat mata yang memaksa mereka untuk melakukan segalanya. Tentu sama, namun ada perbedaan mendasar antara kisahnya dengan kisah yang pernah Galuh ceritakan sebelumnya.
Dari tempatnya berdiri, Ellan bisa melihat bagaimana kendaraan-kendaraan itu berhenti di rumah pelacuran. Membaca setiap kejanggalan yang ada, Ellan memutuskan untuk pergi ke suatu tempat yang akan segera terendus aroma busuknya.
Sementara di ruang tengah sana, tengah duduk sang pemilik rumah pelacuran itu tengah duduk menghisap cerutu dengan tenang dengan sajian teh di atas meja. berjalan di antara balkon dalam dan mengawasi dari tempatnya berdiri. Semua wanita yang ada di dalam rumah itu menghentikan kegiatan mereka dan tidak berkutik sedikit pun ketika ada banyak pria dewasa dengan seragam tentara masuk ke dalam rumah menggeledah ke setiap bagiannya.
Ellan bertumpu tangan pada railing, Ellan menebak-nebak apa yang terjadi setelah ini.
Mereka mulai secara brutal menarik para wanita itu untuk memberi mereka jalan dalam mencari sesuatu. Guci mahal yang dipesan jauh-jauh dari Asia mereka buang dan pecah. Semua isi rak mereka tumpahkan, buku-buku dan arsip yang mungkin berharga mereka lempar begitu saja. Ellan masih setia diam, tanpa terkecuali pemiliknya.
Sampai pertunjukan benar-benar mulai tampak menghibur Ellan dan wanita itu. Ketika mereka berhasil menangkap seseorang dari kamar utama di rumah itu. Masih berjalan dengan anggun dan tenang tanpa mengenaka alas kaki. Raganya memijak bumi tanpa ada yang menghalangi, artinya ia bersedia untuk mati hari ini.
Ellan memberi isyarat pada wanita tawanan itu. "Jangan katakan apapun."
Sang Nyonya tetap pada tempatnya dan menyesap teh dalam cangkir hingga tandas. Ia menegakkan badannya ketika seorang lain dengan langkah tegas melewati pintu utama, sebelum akhirnya pandangan mereka saling bertemu. Ada senyum tipis di bibir merahnya, sementara tatapan pria itu seakan tidak percaya dengan siapa yang berada di hadapannya saat ini. Dengan pakaian yang berbeda, dengan gaya riasan yang lebih tegas, lebih dominan dan tatapan yang sarat akan perasaan negatif tertuju pada orang itu.
Pertunjukan yang luar biasa. Ellan benar-benar menikmatinya. Ia yang hanya pemuda Eropa biasa dan tidak tahu menahu permasalahan orang-orang di sekitarnya, seketika terseret. Harusnya ia marah dan menjauh dengan segera. Tapi justru ia menikmati setiap perjalanannya. Ia menunggu, di ujung sana akan ada pemandangan seperti apa. Akankah ia berakhir ujung kisah yang indah penuh dengan pesan moral? atau sebaliknya.
Sampai saat ini, walau semua tidak berjalan dengan baik dan terkesan abu-abu, Ellan masih menikmatinya. Ia tidak peduli bagaimana akhirnya, sebab ia percaya pada pilihannya.
"Berlarilah sejauh mungkin, bung." Ellan menggumam dengan membuka pemantik api di tangannya.
Kulit pucat pria itu memerah sekalipun tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya. Hanya matanya yang seakan berbicara. "Geledah bangunan ini dan pastikan mereka membusuk di penjara!"