Bab 40 | Renala: Surat

209 50 135
                                    

Capek ngga sih sedih terus?!
.
.
.
Happy Reading ❤️

🍁🍁🍁

Dua minggu berlalu begitu saja. Bisa dibilang aku menjalani hari-hariku hanya untuk hidup keesokan harinya. Aku masih sering memimpikan Bunda. Dan jika itu mimpi yang membahagiakan rasanya aku tak ingin bangun, ingin hidup saja dalam mimpi itu. Tapi jika itu mimpi buruk, aku akan terbangun dengan jantung berdetak kencang, lalu terjaga hingga pagi datang.

Kali ini aku memimpikan Pak Tua, dan saat terbangun seketika rasa bersalah muncul tanpa aba-aba. Kebencianku pada beliau mendadak sirna ketika melihat tubuh dingin itu terakhir kalinya. Kini hanya tinggal penyesalan, harusnya aku memperlakukan beliau dengan lebih baik.

Aku memandang kosong pada amplop berwarna putih di atas nakas. Amplop bertuliskan Untuk Renala yang ditulis tangan oleh Pak Tua.

Semalam Tante Yunita menemuiku. Beliau tidak sendiri. Adik Pak Tua satu-satunya itu membawa seorang pengacara, dan tujuannya kemari membicarakan tentang surat wasiat. Mungkin inilah alasan kenapa aku memimpikan Pak Tua.

Kembali ke pertemuan semalam. Pengacara itu memperkenalkan dirinya. "Renala kan? Saya pengacara almarhum ayah kamu. Kamu bisa panggil saya Om Wijaya," ujarnya seraya menjabat tanganku dan tersenyum ramah.

Tante Yunita menatapku. Tampak duka masih tersisa di matanya. Meski aku tak dekat dengan beliau, tak pernah Tante Yunita merendahkan atau menghinaku seperti yang dilakukan Tante Ira.

Tante Yunita duduk disampingku, merangkul pundakku lembut seraya mengusapnya. "Nala sehat 'kan?" tanya beliau ramah yang hanya kuangguki dengan sopan sebagai jawaban.

"Pak Danuar telah menunjuk Ibu Yunita sebagai wali yang sah atas kamu, hingga kamu sudah cukup umur untuk mengurus harta yang almarhum tinggalkan," jelas pengacara itu dengan kalimat yang mudah kupahami.

"Disini Om punya surat wasiat yang Pak Danuar tulis dengan kesadaran penuh." Om Wijaya membuka map di hadapan beliau, lalu membacakan surat wasiat itu untukku.

"Pak Danuar mewariskan tanah dan bangunan yang berlokasi di Kompleks Arkana Residence Blok C nomor 33 atau rumah yang Renala tempati saat ini. Kemudian beliau juga mewariskan saham sebesar tiga setengah persen di Akasia Group. Pak Danuar juga menyiapkan dana pendidikan dalam rekening Bank Celosia atas nama Renala Sabitha."

Om Wijaya kemudian menyerahkan berkas yang beliau baca. Aku menerima dengan tangan bergetar. Tak pernah aku melihat surat wasiat sebelumnya. Disini tertulis tanggal surat ini dibuat. Tahun lalu. Ternyata Pak Tua sudah menyiapkan semuanya. Apakah beliau punya firasat akan meninggalkan aku?

Aku mengerjap. Lagi-lagi air mataku jatuh. Menerima wasiat ini seakan menegaskan bahwa Pak Tua telah tiada. Tante Yunita merangkulku lagi. Mengusap kepalaku pelan dan menenangkanku yang menangis. Awalnya aku merasa asing, namun tepukan lembut tangan hangatnya di punggungku lama-lama membuatku nyaman.

Bukankah Tante Yunita selalu menyambutku ramah setiap bertemu? Meski beliau jarang mengajak bicara, bukan berarti tak peduli 'kan? Aku terlalu membenci keluarga Pak Tua hingga selalu berpikiran buruk. Lihat, bahkan Tante Yunita tak canggung memelukku.

Aku mengurai pelukan ini setelah cukup lama. Begitu melihatku sedikit tenang, Om Wijaya melanjutkan. "Pak Danuar juga meninggalkan surat pribadi untukmu."

Hatiku mencelos. Entah apakah aku sanggup membaca ini.

🍁🍁🍁

Kuambil surat itu setelah cukup lama kupandangi saja. Amplopnya masih tersegel rapat. Kukumpulkan keberanian untuk membuka isinya. Menghela nafas panjang, lantas aku membaca kata demi kata yang Pak Tua goreskan.

Renala, putri cantik Ayah. Terkadang menyampaikan sesuatu secara tulisan lebih mudah daripada melisankannya. Cepat atau lambat Nala harus tahu alasan keberadaanmu yang Ayah tutupi selama ini. Bukan karena Ayah malu memiliki putri seperti Nala, hanya saja ini cara terbaik Ayah melindungi kamu.

Maaf karena kekhilafan yang Ayah dan Bunda perbuat, Nala harus lahir tanpa ikatan yang sah. Maaf Nala harus menerima perlakuan buruk dari keluarga Ayah. Maaf karena Ayah tidak bisa secara terbuka mendampingi Nala atau sekedar berfoto dalam setiap acara penting.

Namun Ayah sangat berterimakasih, Nala tumbuh dengan baik. Mungkin Nala tidak sadar, Ayah selalu mengawasi kamu setiap ada kesempatan. Terimakasih sudah banyak tersenyum dan tertawa. Kebahagiaan Nala berarti segalanya untuk Ayah. Terimakasih juga karena telah memahami Ayah, dan tidak banyak menuntut meski sebenarnya Nala berhak melakukannya.

Putri Ayah yang membanggakan, mungkin sudah saatnya kamu tahu mengapa Bunda meninggal. Sebelumnya Ayah memohon maaf karena tak bicara jujur waktu Nala bertanya. Namun yang perlu kamu tahu, menceritakan hal itu membuat Ayah sangat menderita.

Malam itu Ayah bertengkar hebat dengan Mama Daisy. Rahasia keberadaan Nala dan Bunda yang Ayah tutup rapat berhasil beliau ketahui. Mama Daisy yang murka akan menemui kalian. Ayah dengan panik menyusulnya setelah sebelumnya menghubungi Bunda Nala agar keluar dari rumah.

Namun Bunda Nala tak menghindar. Beliau memiliki keberanian yang diwariskan kepada kamu. Mama Daisy mengamuk disana. Menghancurkan barang-barang yang bisa dijangkau. Ayah mencoba menghentikan. Lagi-lagi Ayah dan Mama Daisy bertengkar. Bunda Nala hanya diam tak melakukan apapun bahkan untuk sekedar membela diri. Namun ketika Mama Daisy mencoba melukai Ayah, Bunda kamu dengan sekuat tenaga mencoba melerai kami dan kecelakaan itu terjadi begitu cepat. Bunda terjatuh menimpa meja kaca hingga pecah berkeping-keping.

Ayah tidak sanggup menggambarkan betapa shock dan terpukulnya kami waktu itu. Ayah tak sanggup mengingat detailnya, karena takut menerima kemungkinan bahwa tanpa sengaja, bisa jadi Ayah yang mendorong Bunda Nala.

Maafkan Ayah, Renala. Maaf membiarkan kecelakaan itu berlalu begitu saja. Namun perlu Nala tahu, tak pernah sedetikpun Ayah tidak menyesalinya. Tak pernah seharipun Ayah berhenti menyalahkan diri sendiri. Hingga saat ini. Saat Nala tumbuh besar dan semakin mirip dengan wanita yang sangat Ayah cintai.

Ayah tidak tahu kapan surat ini akan sampai di tangan Nala. Namun Ayah berharap, ketika kamu membaca ini, sudah tak ada lagi kebencian di hati Nala terhadap Ayah. Ayah sangat menyayangimu, Renala. Tak pernah sekalipun Ayah menyesali kehadiranmu di dunia ini.

Ayah

Aku termangu dengan tangan masih menggenggam erat surat, seolah itu hal yang paling berharga. Aku tahu Pak Tua sangat menyayangiku. Tak ada alasan lain karena beliau selalu memenuhi permintaanku. Tak pernah beliau membentak atau bersikap kasar meski aku membalas kebaikannya dengan perlakuan buruk.

Namun membaca tulisan Pak Tua dengan gamblang, membuat jantungku seolah diremas. Bodohnya aku yang menyia-nyiakan Ayah sebaik beliau. Pak Tua memang gagal menjadi suami yang baik dan setia, tapi beliau berusaha menjadi Ayah terbaik untuk putrinya. Dan beliau berhasil 'kan?

Penyesalan selalu datang di akhir. Seandainya aku tahu waktu bersama Pak Tua tak banyak, tentu aku akan sering meminta bertemu. Tentu akan selalu kusanggupi undangan makan malam di rumah besar itu, tak peduli akan sindiran pedas Tante Ira dan Daisy.

Mengingat wajah Pak Tua yang selalu tersenyum hangat membuatku pedih. Sungguh aku bukan anak yang baik. Kapan terakhir kali aku menatap beliau dengan senyum cerah? Kapan terakhir kali aku mengucap terimakasih dengan benar? Dan kapan terakhir kalinya aku mencium punggung tangan beliau? Pertanyaan-pertanyaan di kepala ini makin membuat dadaku sesak.

Apa aku pantas menerima kasih sayang Pak Tua yang tulus? Bahkan beliau sudah menyiapkan sesuatu untukku, memastikan aku bisa hidup layak sepeninggal beliau.

Aku melipat kembali surat itu lalu mendekatkannya ke dadaku yang terasa kosong. Aku lelah menangis, tapi air mata ini mengalir tiada henti. Tak ada yang bisa kulakukan dini hari ini selain menunggu pagi.

"Maafkan Nala, Ayah. Nala benar-benar menyesal. Nala juga sayang Ayah. Maaf baru mengatakannya," lirihku dengan sadar.

🍁🍁🍁

Next?

Vote komen dulu kali

Gratis kok 😉

Sad Things About Renala [END]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang