Rhythm 0.6

72 33 40
                                    

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Langit malam terlihat ramai penuh bintang-gemintang, langit begitu bersih tanpa awan, rembulan bersinar ditangah gelap.

Dihadapan balkon rumah kosong sebelah rumah, Melodi memandang kosong. Menghela napas panjang, gadis itu menghembuskannya perlahan. Ia bosan, kebas sudah telinganya mendengar suara piano dari lantai bawah yang dimainkan Heesa.

"Jurig! Pekak kuping gue denger suara piano tiap hari, njir! A Heesa gak bosen apa mainin piano lagunya itu-itu mulu!?"

Melodi bisa saja disebut gile betulan. Sebab, entah pada siapa ia bicara. Benar-benar tak ada siapapun yang bisa ia lihat di seberang sana.

"Hari ini gue keknya baru pertama kali ngerasaan yang namanya bener-bener males banget sekolah. Senakal-nakalnya gue, gue tetep pengen sekolah meski cuman buat main sama jajan." Menghela napas lagi, membuangnya perlahan.

"Katanya jatuh cinta itu seru, kok gue justru ngerasa jatuh cinta itu ngebosenin, ya? Apa karena gue cintanya sama festival ? Eh, gak waras banget gue."

Gadis itu terkekeh, tampak senyumnya yang begitu menawan. Sayangnya, ia jarang sekali memberikan senyuman indah itu pada dunia.

"Gue juga lagi sebel sama gosip-gosip yang bawa-bawa nama gue. Jelas-jelas gue gak ada apa-apa sama Kak Satya. Apa perlu gue pertegas? Kalo gue gak ada rasa sama dia? Lagian kok orang-orang seneng amat ngurusin idup gue, emang gak ada kerjaan, kah? Bantuin gue ngerjain PR bisa kali." Celotehnya. Pembicaraan yang entah akan menuju kemana.

"Jurig, lo bisa nyanyi, gak? Atau bisa mainin gitar gitu ...gue lagi pengen denger suara lain selain piano! Nyebelin banget Aa gue satu itu! Tidur sana, kek!" Omelnya.

Suara piano yang dimainkan Heesa masih terdengar. Pemuda itu mahir sekali memainkan alat musik satu itu. Tangannya terus menari diatas tuts menimbulkan suara merdu yang sayangnya tidak disukai Melodi.

Kini gadis itu memandang langit. Dalam keheningan malam, pikirannya justru begitu ramai. Banyak hal yang sedang gadis itu ingin biarkan. Ingin sekali tidak memikirkan pikiran itu. Dibalik sisi keras kepalanya, ia memendam rasa cemburu, iri dan sakit hati.

Suara piano di lantai bawah sudah berhenti, sebaliknya ada suara Heesa yang sedang menaiki anak tangga dengan terburu-buru. Suara ketukan pintu terdengar, Melodi tau persis siapa yang mengetuk pintu kamarnya.

"Mel, udah tidur?" Suara Heesa menyapa dari balik pintu.

Sebaliknya, Melodi tak membalas. Gadis itu memilih diam, membiarkan Heesa dibalik sana berlalu pergi meninggalkannya.

"Mel, kamu denger Aa main piano, kan? Itu lagu yang Mel suka pas kecil, dulu kamu gak bakalan mau tidur sebelum Aa mainin piano. Bahkan kamu sampe rewel di gendongan Ayah ... lucu deh. Sekarang Mel udah besar, Aa jadi gak tau kamu masih suka lagu ini apa enggak." Heesa tertawa. Masih setia berdiri di depan pintu.

"Kamu udah tidur, ya? Aa kangen tau Mel ...kenapa sekarang kamu ngejauh dari Aa?" Heesa tertawa getir, tentu itu terdengar oleh Melodi tapi gadis itu diam, membiarkan Heesa terus bicara.

"Gimana caranya biar kamu balik kayak dulu lagi? Jadi Mel yang sayang sama Aa ...." Heesa terdiam. "Good night sweetie ... sweet dream's."

Langkah kaki Heesa terdengar mulai menjauh, membuat Melodi merasakan sepi. Apa ini yang ia inginkan? Rasanya bukan.

Menghela napas, Melodi melirik headset yang tergeletak diatas nakas, segera ia ambil, menyambungkannya pada ponsenya. Memasangnya di salah satu telinga.

Musik mulai mengalir, menemani sepinya.

Melamun, belum terlalu larut untuk memutuskan tidur bagi gadis itu. Dirinya merasa sedang tidak baik-baik saja. Banyak tuntutan yang ia dapat belakangan ini, terlebih dari Bunda. Entah sejak kapan Bunda menjadi menyebalkan baginya, rasanya terlalu sulit untuk mengikuti apa mau Bunda. Terlalu sulit.

"Bun, Mel kangen Bunda yang dulu. Sekarang rasanya Bunda terlalu nuntut Mel buat setara kayak Aa."

Menghela napas, gadis itu memilih menikmati lirik lagu yang sedang ia dengarkan. Lagu yang pernah dinyanyikan sepupunya-Jovan.

"Kapan Bunda bisa liat Mel, tanpa Mel harus ngelawan Bunda?"

Dua menit setelahnya, lagu itu habis.

"Lo masih di sana gak, jurig? Lo seriusan gak mau mainin sesuatu buat gue? Gue lagi galau nih." Gadis itu tertawa, menatap jendela rumah sebelah yang terlihat gelap.

Lama terdiam, Melodi memutuskan menutup jendela kamarnya. Belum genap tertutup, ada suara musik dari arah sebrang.

Melodi tersentak, jantungnya berdebar keringat dingin mulai datang. "Lo beneran ada di sana?" tanyanya entah pada siapa.

Melodi memberanikan dirinya untuk mendengar suara permainan dari alat musik gitar itu. Terdengar begitu menenangkan, membuatnya merasa lebih nyaman.

Dipikir-pikir, apakah benar hantu itu ada di sana? Sosok yang terus Melodi ajak bicara belakangan ini.

Suara gitar itu terdengar tenang, namun entah karena suasana hati gadis itu sedang buruk, lagunya terdengar menyedihkan.

"Kenapa gue jadi gini, ya?" Gumamnya.

Tersenyum. Gadis itu tersenyum entah karena apa. "Gue kok jadi inget muka nyebelin Si Bisu itu, sih!?"

Melodi memandang sekitar yang perlahan menjadi sepi. Ia hanya ditemani suara gitar dari rumah sebelah yang kosong.

"Lama-lama gue merinding, njir! Bye, gue mau bobo!"

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Festiva SMA Bakti Bangsa masih berlanjut dengan meriah. Satya masih merasakan patah hati, pemuda itu salah menaruh perasaannya. Benar, ia tak bisa menaruh rasanya pada seseorang yang tak bisa memberikan hal yang sama padanya.

"Pagi Bang Yohan! Wuih, pagi-pagi dah sibuk ae, mangat ya, Bang!"

Suara Melodi menyapanya di tengah kesibukannya. Satya lagi-lagi melirik ke arah sumber suara. Ia putuskan, hari ini adalah hari terakhirnya memandang gadis itu dengan perasaan cinta.

Ting!

Satu notifikasi masuk ke dalam ponsel Satya.

Satu notifikasi masuk ke dalam ponsel Satya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satya tersenyum getir. Seharusnya ia bisa bahagia, melihat cinta gadis yang ia cintai terbalas dengan rasa yang sama, tidak seperti dirinya.

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

-Deen Light
-3, 9, 24

Melodi Jiwa || Jay Park {SUDAH TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang