Rhythm 0.14

20 12 15
                                    

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Setelah siang hari yang menyebalkan itu, Melodi jadi mudah kesal. Gadis itu memilih berdiam diri di kamar, mengabaikan Heesa yang sejak kepulangannya bertanya perihal kemana ia selama beberapa jam yang lalu.

"Mel, makan yuk! Aa buat nasi goreng super pedes buat kamu." Heesa kembali mengetuk pintu kamar adiknya setelah tiga puluh menit berkutat di dapur.

"Makan sendiri! Mel lagi gak mood!" Balas Melodi.

"Aa kan, gak bisa makan pedes, Mel!" Heesa menghela napasnya, sedikit kesal dengan tingkah Melodi.

"Ya ngapain masak, kocak!" Sahut Melodi.

"Aa masak buat kamu. Gimana kalo nanti kamu sakit? Aa gak mau kamu sakit karena telat makan. Ayo dong, Mel ... di makan dulu." Heesa tak putus asa, ia masih setia berdiri di depan pintu kamar adiknya yang tertutup rapat.

"MEL BILANG GAK MAU, YA ENGGAK!"

"Mel denge-"

"MAKAN SENDIRI EMANGNYA GAK BISA!? GAK USAH SOK PEDULI GITU, DEH!"

Heesa membeku di ambang pintu. Sedikit sakit mendengar niat baiknya justru dianggap yang tidak-tidak. Padahal Heesa sudah memberanikan diri untuk tidak menuruti kemauan Bunda, ia juga sudah membuat wishlist yang akan ia lakukan bersama adiknya itu.

Hubungan mereka merenggang sejak Melodi duduk di bangku SMP, Heesa tau alasan dari sikap Melodi yang berubah.

Melodi bukan lagi adiknya yang ketika Bunda membandingkan nilainya dengan milik Heesa akan menangis, atau memberikan janji-janji pada Bunda bahwa ia juga akan memberikan nilai yang sama.

Melodi menjadi sosok yang berbeda, gadis itu lebih sering diam saat Bunda kembali membandingkan nilainya. Terkadang, gadis itu juga mulai berani membantah, berani menyuarakan rasa kesalnya.

Heesa iri, ia iri dengan keberanian Melodi. Meski Heesa tau cara adiknya salah, tapi bukankah wajar terjadi bila situasinya seperti itu.

Heesa tau apa yang adiknya inginkan, Melodi hanya butuh Bunda dengan perannya. Bukan Bunda dengan sisi ambisinya. Heesa akui, ia juga kewalahan mengikuti kemauan Bunda.

"Aa gak akan makan kalo kamu gak mau makan." Final Heesa. Pemuda itu setia berada di depan pintu kamar Melodi. Pendiriannya juga kuat.

Entah apa yang akan ia lakukan di sini, tapi Heesa yakin Melodi akan segera membukakannya pintu dan turun untuk makan siang bersama.

Pagi tadi Bunda sudah berangkat menuju bandara, Bunda pulang lebih dulu. Dan Bunda memegang janji Heesa yang akan memenangkan perlombaan di Singapura minggu depan.

Bicara soal Heesa, usianya hanya berbeda dua tahun di atas Melodi. Ia masih berstatus siswa SMA kelas akhir. Dulu Heesa bersekolah di SMA yang sama dengan Melodi, tapi sejak Bunda memutuskan Heesa untuk fokus dengan hobinya juga perlombaan-perlombaan yang ia ikuti, Heesa dipindah sekolahkan ke sekolah yang lebih bagus di kota tempat mereka tinggal.

Heesa mahir bermain basket, sejak kecil bakatnya sudah terlihat. Sekolah barunya menjanjikan sesuatu yang besar pada Bunda. Soal Heesa yang mungkin saja akan menjadi atlet nasional suatu hari nanti.

Heesa dan Melodi sejujurnya sama, kedua anak itu diberatkan dengan standar Bunda. Bedanya, Heesa menurut sedangkan Melodi sebaliknya.

Bunda sering menyama-nyamakan hasil yang Heesa dapatkan dengan apa yang Melodi dapatkan. Heesa tau adiknya juga punya tempatnya sendiri untuk bersinar, mungkin bukan pada nilai-nilai besar pada buku laporan, atau medali-medali dan piala.

Melodi Jiwa || Jay Park {SUDAH TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang