Rhythm 0.9

56 22 34
                                    

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Setelah pengumuman pemenang siang itu, Melodi dan Aluna duduk berdua diasalah satu meja kantin. Melodi bercerita soal ucapan Jovan kemarin.

Melodi cukup tau diri, ia memang bukan anak yang penurut seperti kakaknya-Heesa.

"Gimana ya, Lun ... gue bukannya gak menghargai Bunda, tapi gue cuman pengen nunjukkin ke Bunda kalo gue itu bukan A Heesa. Gue gak bisa disamain terus." Keluh Melodi. Gadis itu mengaduk-aduk minuman jeruk dinginnya tanpa minat.

Aluna menghela napas, gadis itu mengukir senyum lembutnya. "Gue tau, kok." Jawabnya sambil menatap wajah sahabatnya yang tertunduk.

"Bang Jovan juga salah bilang kayak gitu ke lo. Manusia gak bisa nge-judge manusia lain dengan bilang, 'gak akan masuk surga' atau 'kamu bakal masuk neraka.' karena itu cuman haknya yang di atas." Aluna tersenyum lagi, kali ini tangannya mengelus punggung tangan sahabatnya.

"Gue mau jadi lebih baik, lama-lama sebenernya cape juga ngelawan Bunda. Gue juga gak suka Bunda marah-marah, gue takut." Melodi semakin tertunduk, dadanya sedikit merasakan sesak. "Ajarin gue, Lun. Lo kan alim banget." Lanjut Melodi.

Aluna terkekeh, "peleas, alim? Gue gak sebaik itu .... Tapi, kenapa kita gak belajar bareng-bareng? Lo mau jadi lebih baik, kan?" tanya Aluna memastikan, senyumnya terkembang sempurna.

Jujur saja, mendengar Melodi ingin menjadi lebih baik, itu membuat Aluna sangat senang. Sejak dulu, gadis itu selalu ingin mengajak sahabatnya, tapi semuanya ia urungkan, sebab ia merasa Melodi pasti akan menolaknya.

"Iya, gue pengen jadi kayak lo. Ajarin gue ya, Lun. Cuman lo yang bisa gue andelin."

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Bel pulang sudah berdenting sejak lima belas menit lalu, tapi sejak tadi Melodi belum juga terlihat ada di tempat parkiran. Jovan sudah menunggunya, dan pemuda itu mulai merasa bosan. Niat hati ingin mentraktir sepupunya dengan uang hasil taruhan atas kemenangan tim Melodi dan Jiwa ia urungkan sebab Melodi tak kunjung muncul.

"Mana deh, tu anak. Harusnya dia yang nungguin gue, bukan gue yang nungguin dia! Tau diri kek, kalo nebeng! Ish!" Gerutu Jova.

"Yoi! Sepupu jelek! Gue cabut duluan aja lah! Cape gue nungguin lo, bye!" Pemuda itu memutuskan pulang sendiri. "Jangan salahin gue kalo kaki lu lecet!" Jovan memutus panggilan itu sepihak.

Di lain sisi, Melodi baru saja ingin menemui Jovan. Gadis itu ada sedikit urusan dengan Aluna perihal apa yang mereka bicarakan di kantin siang tadi. "Ah, gimana nih ... mana gue takut banget pulang sendirian." Gumamnya sambil terus menuruni anak tangga.

Gadis itu berdiri di gerbang sekolah, melirik sekilas mobil yang biasanya menjemput sahabatnya.

"Misi, Pak Ridwan. Mau jemput Aluna, ya?" tanyanya ramah, supir di dalam mobil itu mengangguk, balas tersenyum. "Aluna kayaknya masih lama deh ... mending Pak Ridwan parkir mobilnya di dalem aja, biar lebih adem. Saya permisi dulu ya!"

Melodi segera berlari menjauhi gerbang sekolah, langkahnya terus ia bawa sampai di tempat gang sempit yang paling ia takuti. Melirik ke belakang, tidak ada siapapun yang mengikutinya, bahkan Jiwa sekalipun. Sepertinya pemuda itu sudah pulang.

"Ish, ngapain gue mikirin si bisu itu." Gumamnya sambil terus berjalan.

Sejujurnya Melodi takut. Tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak melewati jalan ini, maka jalan yang ia tempuh jauh lebih menguras tenaganya.

Semakin ia masuk ke dalam gang itu, semakin terasa nyata ketakutannya. Seolah benar-benar ada orang dibelakangnya.

Melodi berlari lebih cepat. Berusaha menjauh keluar dari gang itu. Gadis itu terus berlari, rasa takutnya semakin menjadi, sampai akhirnya ia bisa keluar dari gang sempit itu dengan perasaan lega.

Melodi Jiwa || Jay Park {SUDAH TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang