Rhythm 0.12

33 16 26
                                    

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Melodi segera menuruni anak tangga rooftop, ia senang mendengar dirinya memenangkan lomba di festival besar tahunan sekolah. Artinya, ia juga bisa mengalahkan Jiwa. Nyatanya pemuda itu tidak lebih baik darinya.

Senyumannya terkembang sempurna, Melodi segera naik ke atas panggung dengan perasaan bangga, ia berdiri di atas podium paling tinggi. Disampingnya ada Jovan yang menduduki juara kedua juga Naura yang menjadi juara ketiga.

Lalu dimana Jiwa? Kemana pemuda itu pergi, bahkan sejak pagi ia datang ia tak menemukan batang hidung pemuda menyebalkan itu.

Sepertinya Melodi juga melupakan hal ini.

Setelah menerima segala bentuk hadiah, Melodi turun menghampiri Yangti. Gadis itu mendekap tubuh Yangti senang, tak henti-hentinya ia tersenyum dan bersorak senang.

"Yangti gak pernah ragu sama Meli. Azzam pasti seneng denger cucu cantik Yangti satu-satunya ini menang!" Yangti mengelap ujung matanya yang sedikit basah.

Tak lama Jovan ikut bergabung, memeluk Yangti. "Jopan juga menang loh, Tiii! Gak adil banget cuman Mel yang di peluk!" Jovan berujar manja-dasar cucu Yangti.

Yangti tertawa, menepuk-nepuk punggung cucunya. "Yangti juga bangga sama Jopan, keren sekali!" Yangti kembali terkekeh. "Yangti bangga sama semua cucu Yangti, Hees, Jopan, Azzam, Meli ... Yangti bangga sama kalian. Hasil itu gak selalu penting, yang penting itu usahanya."

Asik bercengkrama, nenek dengan ketiga cucunya itu tidak menyadari ada wanita yang sudah ikut bergabung. Bunda. Bunda menghentikan acara hangat itu.

"Udah selesai kan, acara hari ini? Hees ayo pulang, kita harus cepet-cepet ke bandara sore ini. Bunda baru kelar ketemuan sama Kepala Sekolah." Bunda segera menarik pergelangan tangan Heesa.

"Bun, kita di sini dulu emangnya gak bisa? Aa masih mau main sama Mel, emangnya Bunda gak pengen di sini dulu?" Heesa melirik Melodi yang menatap Bunda. Sedetik kemudian pemuda itu tersenyum, menarik Melodi agar mendekat padanya dan Bunda. "Bunda gak mau bilang sesuatu ke Mel hari ini? Mel menang juara satu, loh! Mel bahkan ngalahin Jovan!" ujar Heesa bangga.

Melodi yang awalnya tak terlalu berharap lebih pada tanggapan Bunda kini memberanikan dirinya tersenyum pada Bunda, dengan semangat ia tunjukkan piala, medali juga sertifikat kejuaraannya.

Bunda melirik sekilas, menghela napas. "Keren," Bunda kembali menatap Heesa, mengabaikan Melodi. "Ayo Hees, waktu kita gak banyak. Kamu tau kan, kamu lolos ke babak selanjutnya? Pelatih kamu minta buat kita ketemuan secepat mungkin. Kalo lomba ini kamu menang lagi, Bunda yakin kamu bisa keterima di kampus manapun."

Heesa melirik adiknya, ia yakin adiknya tersinggung dengan tanggapan Bunda. "Bun, liat dulu Melnya. Aa yakin Bunda bangga sama Me-"

Belum genap Heesa menyelesaikan kalimatnya, Melodi sudah berlari. Gadis itu tak lagi bisa membendung rasa kesal sekaligus kecewanya. Kakinya terus menyibak kerumunan, peduli apa soal tatapan orang perihal dirinya, mereka tak mengerti.

Sampai pada bangku di belakang sekolah, gadis itu mendudukkan dirinya di sana. Membiarkan bulir-bulir air itu terjun membasahi pipinya. Ia tak ingin dikasihani, gadis itu tak ingin dianggap lemah. Hanya saja, tidak ada yang mengerti dirinya.

Ia merasa Bunda selalu menilainya sebelah mata, dan hari ini puncaknya. Bahkan pada titik tertinggi yang pernah ia duduki, tak bisakah Bunda hanya fokus padanya? Tak bisakah kali ini dirinya yang diperhatikan? Mengapa selalu Heesa?

Inilah alasan Melodi membenci Heesa. Ingat ocehan asal gadis itu pada jendela gelap rumah sebelah? Perihal ranking yang ia dapatkan, Ranking yang tak pernah ia bayangkan ia juga akan memilikinya.

Saat mendapat kabar itu, Melodi dengan riang membawa buku laporan hasil belajarnya ke rumah, anak berusia sebelas tahun itu bersenandung riang seiring langkah kakinya. Membayangkan betapa terkejutnya Bunda mendengar berita ini. Membayangkan pekikan senang Bunda mendengar ranking satu pertamanya.

Sesampainya di rumah, semua angan soal tanggapan Bunda yang akan tertuju padanya itu hilang.

Tidak ada, tidak ada yang gadis itu dapatkan.

Bunda sibuk dengan persiapan Heesa yang akan mengikuti perlombaan tingkat provinsi. Padahal ia sudah berdiri dengan bangga di ambang pintu memegang buku laporan hasil belajarnya.

Bunda justru mengabaikannya, bilang ia sibuk mengurus persiapan Heesa yang jauh lebih penting.

Menyebalkan sekali mengingat hari itu.

Melodi menghela napasnya yang mulai putus-putus, terselip bekas isakan.

"Lo oke?" tanya seseorang yang baru saja bergabung.

Melodi mengangguk sebagai jawaban. Sudah tidak apa-apa, seharusnya ini menjadi hal yang biasa.

"Ada yang sakit?" tanya pemuda itu lagi. Melodi menggeleng, tentu tidak ada-kecuali hatinya.

"Gue gak papa, Kak." Melodi mendongakkan kepalanya, tersenyum. Sayangnya pemandangan itu justru membuat pemuda berkulit pucat yang baru saja bergabung itu menahan napasnya.

Mata sembab Melodi juga hidung merah yang berair. Gadis itu tentu sedang tidak baik. Satya, pemuda itu menepuk-nepuk bahu Melodi.

"Gak semua hal yang pengen kita dapetin itu nyenengin, meski kita emang udah dapet apa yang kita mau misalnya. Kita gak bener-bener tau apa yang kita butuhin." ujar Satya lembut. "Gue gak tau apa yang ngebuat lo tadi pagi seambisi itu buat menang, dan sekarang setelah lo dapet kemenangan yang lo mau, lo justru nangis."

Satya memandang langit, hari ini sedikit berawan, angin juga bertiup kencang. "Kayaknya beneran mau ganti musim." Pemuda itu mengukir senyum, menghiasi wajah tampannya dengan sempurna.

"Ada waktunya lo harus beradaptasi, sama kayak lo beradaptasi sama cuaca. Lo cukup fokus sama diri lo." Satya segera bangkit dari duduknya, mengulurkan tangannya di hadapan Melodi.

"Gue gak kenapa-napa. Lo gak perlu hibur gue, Kak." Melodi menolak uluran tangan dari Satya.

Satya balas tersenyum. "Gue tau lo gak kenapa-napa, tapi cukup keliatan jelas kalo sebenernya hidup lo lagi gak baik-baik aja."

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Setelah ia bertemu dengan Satya, Melodi memutuskan untuk segera pulang. Benar, ia harus beradaptasi.

"Bang Jov! Lo tau Aluna gue kemana gak? Kok dia gak sekolah, ya!?" tanya Melodi dari belakang. Kini mereka sedang berada di atas motor vespa kesayangan Jovan, pulang menuju rumah.

"Kaga tau, lah! Lo kan temennya gimana, sih!?" Protes Jovan sambil berdecak sebal. "Lagian harusnya gue yang tanya ke lo! Alun-alun gue ke mana!?" Jovan memutar bola matanya malas.

"Hah!? Lo ngomong apaan, Bang!? Gak kedengeran gue!" Melodi sedikit mendekatkan telinganya pada badan Jovan, namun pemuda itu sepertinya tak menanggapi ucapannya.

"Gak jadi!"

Melodi mengangguk sebagai jawaban, tak ia pikirkan lagi. Pikirannya justru tertuju pada pemuda bisu yang seharusnya menjadi lawannya hari ini. Mengapa Jiwa tidak datang, bukankah ini babak final?

Seharusnya pemuda itu datang.

Gadis itu sudah mengabaikan rasa kecewanya pada Bunda. Ia juga tak menanggapi permintaan Heesa yang mengajaknya pulang bersama. Gadis itu terlanjur membenci Heesa, Heesa dengan segala hal yang bisa mengalihkan perhatian Bunda darinya.

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

-Deen Light
-10, 9, 24

Melodi Jiwa || Jay Park {SUDAH TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang