Rhythm 0.11

39 23 30
                                    

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Panggung sudah ramai di kerumuni siswa-siswi SMA Bakti Bangsa, padahal acara belum dimulai. Juri-juri mulai berdatangan, duduk di kursi mereka dengan tenang, mereka dan seluruh siswa sangat tak sabar menantikan pertandingan final kali ini. Sebab, Melodi kali ini punya lawan yang setara—atau mungkin tidak.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, maka semakin ramailah sekolah itu. Heesa dan Yangti datang, mereka tak ingin ketinggalan menyaksikan Melodi bernyanyi.

Sebaliknya, Melodi di balik panggung justru cemas, ia takut sekali dirinya akan kalah. Sejak tadi ia berputar-putar di tempatnya.

"Lo gak papa, Mel?" tanya Satya sambil menyerahkan sebotol air mineral. Pemuda itu duduk di samping kursi Melodi dengan tenang.

"Gue gak baik. Gue takut banget, gue pengen menang. Dan diri gue bilang, gue harus menang." Melodi menerima air itu dari Satya. Ia meremat ujung baju seragamnya. "Tapi kali ini beda, Kak. Lawan gue si bisu, yang sebenernya dengan berat hati gue akui kalo dia emang keren banget kemaren."

Satya tertawa, pemuda itu mengecup ujung matanya yang berair. "Lucu." Timpal pemuda itu.

"Gak lucu, Kak. Gue harus menang, sekarang entah kenapa gue jadi punya ambisi sebesar ini." Melodi menatap Satya serius, gadis ini tak berbohong soal ambisinya.

Satya menghentikan tawanya, ia balik menatap netra itu. "Oke-oke, gue gak tau alasan lo kenapa bisa punya ambisi sebesar itu sekarang. Tapi yang pasti, jangan ragu sama diri lo sendiri." Satya tersenyum menyemangati. "Gue tau lo bisa."

Melodi menghembuskan napasnya. Gadis itu menunduk memandang kedua sepatunya. "Sejujurnya gue gak pernah ragu sama diri gue. Tapi, di waktu-waktu tertentu gue ngerasa pilihan gue salah. Dan di waktu lainnya, gue ngerasa gue gak semembanggakan itu."

Satya memilih diam, pemuda itu tak bisa lagi terjun lebih dalam ke dalam kehidupan Melodi, itu bukan tempatnya.

Sorakan tak sabaran dari luar membuat lamunan keduanya harus terhenti. Melodi kembali tersenyum. "Gue bakal menang." ucapnya.

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Langit biru cerah awal mula kita bersama

Awal pertama yang penuh tawa

Punggung cemas kita yang kita sembunyikan di balik ekspektasi

Juga jawaban yang tidak pasti

Tapi aku tidak peduli saat aku bersamamu

Sekarang percayalah padaku dan ikuti aku

Sekarang lihat saja aku dan berjalanlah

Lintasan off-road yang kasar

Meski aku hanya berlari

Tidak apa-apa

Hari-hari untuk bersama, sekarang kau dan aku

Beri aku tanganmu sedikit lagi

Peluk aku lebih erat

Agar aku bisa berdiri kembali meski di hari-hari sulit dan melelahkan

Bisakah kamu tinggal bersamaku sedikit lagi?

Peluk aku lebih erat

Aku membawamu dengan jalan raya cintaku 1009

(Highway 1009 Enhypen)

Melodi menyanyikannya dengan baik, gadis itu sedikit menyemangati dirinya dengan lagu yang ia bawa. Netranya menemukan Heesa yang tersenyum bangga kearahnya, juga Yangti yang tak henti-hentinya bersorak senang menatapnya.

Menikmati sorak-sorak itu tertuju untuknya, gadis itu jadi sedikit sedih sekaligus senang. Senang karena semua orang menyukainya dan sedih karena diantara banyaknya orang yang menyukainya, hanya Bunda yang tidak bisa melihatnya.

Melodi menuruni anak tangga panggung dengan perasaan yang tak lagi bisa ia artikan. Hanya ada satu yang ia pikirkan, hari ini ia harus menang. Akan ia tunjukkan pada Bunda bagaimana caranya membanggakan Bunda.

Tidak dengan menjadi seperti Heesa. Namun, menjadi seorang Melodi.

"Keren banget Melnya Aa!" Heesa menyambut Melodi yang mendekat. Melodi mengangguk, tentu saja ia hebat.

"Yangti masakin Meli opor lagi malam ini. Merayakan apa yang sudah Meli usahakan." Yangti memeluk Melodi, menepuk-nepuk bahu cucunya menyalurkan kehangatan.

Melodi tentu mengangguk senang. Namun, netranya sejak tadi mencari sosok yang seharusnya juga ada di tempat ini. Bunda.

"Mana Bunda? Bunda gak dateng? Ini babak final, loh." Melodi menuntut jawaban pada Heesa.

Heesa justru melunturkan senyumnya, pemuda itu menepuk bahu adiknya lembut. "Bunda ke rumah Yangti karena ada urusan. Kebetulan banget, Bunda bukannya gak mau liat Mel tampil. Tapi waktunya gak pas." Terang Heesa, ia berusaha agar Melodi mengerti akan situasi, ia juga tak mau menyakiti perasaan adiknya.

"Cuman hari ini, loh ... beneran gak bisa tinggalin dulu itu semua?" Melodi tertawa hambar, ada sesuatu yang meledak di dalam dadanya. Rasa sesak itu meminta waktu untuk tumpah.

"Gak gitu, denge—"

"Mel harus ke belakang dulu. Ada yang Mel lupain."

Gadis itu berlari menyibak kerumunan, semakin kencang larinya, semakin terasa air mata itu tumpah membasahi pipi. Rambut panjangnya bergerak tak beraturan, melawan arah angin.

Benar, ada yang ia lupakan.

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

"Bunda gak pernah punya waktu buat Mel."

Gadis itu terisak di pojok rooftop, memeluk lututnya. Memaki-maki ambisi sia-sianya. Padahal, sejak ia sampai sekolah ia berambisi untuk menunjukkan kehebatannya di depan Bunda.

Gadis itu ingin sekali mengatakan bahwa ia bisa membanggakan Bunda dengan caranya sendiri. Ia akan membuat Bunda bangga, meski tidak harus seperti Heesa.

Namun, sekarang itu terdengar sia-sia saja.

Terus terisak, sampai tak menyadari ada orang lain yang datang menghampirinya. Berdiri di depannya dengan sebatang permen rasa melon.

"Gue gak tau masalah lo apa, tapi kenapa gak ngemut permen dulu?" Tawarnya sambil menyodorkan permen tersebut.

"Eh, Bang Yohan." Buru-buru Melodi menghapus air matanya, ia tertawa canggung. "Ngapain lo disini, Bang? Lo kan, panitia acara. Mampus kalo Bu Yuliana tau lo malah di sini." Melodi berusaha untuk bergurau, menutupi kesedihannya.

"Gak usah sok kuat gitu, deh. Gue tau lo tadi nangis, suara lo aja gak bisa bohong." Yohan mengambil tempat di samping Melodi. Pemuda itu menyandar pada dinding. "Makan dong, itu permenya." Pinta Yohan sambil tersenyum.

Melodi segera membuka bungkusnya, memasukkan permen itu ke dalam mulutnya.

Sunyi setelahnya, Yohan memilih diam. Telinga itu tengah mendengarkan sesuatu, sorakan bahagia dari lapangan. Sepertinya pemenang lomba menyanyi hari ini sudah diumumkan, dan sayangnya pemenang itu justru tidak ada di panggung itu.

"Ah ... yang menang bukan gue." Keluh Melodi sambil tertawa hambar. Ia juga mendengar sorakan-sorakan itu.

"Siapa bilang? Lo gak pernah tau kalo lo gak bisa liat semuanya. Lo cuman ngedenger, lo gak mencoba buat ngeliat." Yohan menyunggingkan senyumannya.

Melodi terdiam, mencerna maksud dari perkataan Yohan barusan.

Namun, suara gebrakan dari pintu rooftop yang dibuka secara mendadak dan terburu-buru justru mengalihkan perhatiannya.

Satya berdiri di sana dengan napas menderu hebat. "MEL! LO MENANG, PERCAYA SAMA GUE!"

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

-Deen Light
-9, 9, 24

Melodi Jiwa || Jay Park {SUDAH TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang