Rhythm 0.13

33 17 18
                                    

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Bunda adalah Bunda. Keras kepala, maka jangan heran sifat keras kepala Melodi datangnya dari mana, itu warisan dari Bunda.

Sore itu Bunda memaksa Heesa untuk menuruti perkataannya, agar mereka segera pulang menuju kota tempat mereka tinggal. Namun, Heesa menolak permintaan Bunda. Ini kalii pertama Heesa terlihat membangkang dihadapan Bunda.

"Bunda gak mau tau ya, Hees! Kamu harus ikut Bunda!" Bunda menyela di tengah acara makan malam.

Heesa justru menghela napas jengah, netranya berusaha sesopan mungkin menatap Bunda. "Aa mau di sini, sebentar aja, Bun. Aa mau nemenin Mel. Kalo Bunda keberatan, Bunda bisa pulang duluan, Aa nanti nyusul." Jawab Heesa.

"Tapi kan, Pelatih kam—"

"Aa tetep mau di sini. Sebagai gantinya, Aa bakal janji sama Bunda kalo Aa pasti menang di lomba besok." Heesa segera bangkit dari meja makan, enggan menghabiskan makanannya.

"Kamu mau kemana, Hees!? Kenapa kamu jadi ikut-ikutan kayak adekmu itu, sih!?" Pekik Bunda.

"Sudahlah, Din ... biarkan anakmu itu sesekali melakukan apa yang mereka mau. Kamu terlalu mengekang mereka dengan standar kamu." Yangti mengelus lembut punggung tangan anak tertuanya.

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Melodi justru tak mengikuti acara makan malam hari ini. Ia sibuk memandang jendela rumah kosong yang persis berhadapan dengan balkon kamarnya. Ngomong-ngomong soal rumah kosong itu, Melodi jadi teringat akan cerita Heesa.

Merenung memandangi jendela yang terlihat gelap, gadis itu jadi bergidik ngeri. Bagaimana jika selama ini yang menemaninya adalah hantu ibu muda itu? Jadi selama ini, bahasa yang ia gunakan tidak sopan sema sekali.

Terlepas dari rasa takutnya, Melodi juga memikirkan perasaan sakit yang masih menyarang pada dadanya. Haruskah ia beradaptasi dengan perilaku Bunda? Rasanya tak adil jika ia harus mengalah, dan menganggap semuanya berlalu begitu saja.

"Jurig, lo tau? Ada kabar baik hari ini. Gue menang, lo pasti bangga sama gue, kan? Karena temen cantik lo ini bisa menangin lomba dan mengalahkan si bisu yang punya muka lempeng nyebelin."

Melodi menghela napasnya. "Jurig .... Jauh dari sikap Legenda Mars yang bikin gue gak betah dan terlepas dari sikap sok baik anak Legenda Mars. Gue lebih sakit waktu Legenda Mars nganggep usaha gue gak ada apa-apanya sama prestasi yang udah dibuat sama anaknya itu."

"Emangnya dia pikir, gue bisa berdiri di podium paling tinggi itu gak ngelewatin proses? Gue harus ngelawan rasa takut gue, gue berkali-kali ngeyakinin diri gue kalo gue juga bisa keren, atau bahkan lebih keren dari Anak Legenda Mars."

"Gue sebagai Putri Bulan, cuman pengen dapet pengakuan aja kok, dari Legenda Mars itu. Cuman itu yang gue mau. Seharusnya hari ini gue dapet itu, atau bahkan seharusnya dari dulu gue dapet itu semua."

"Tapi gara-gara Anak Legenda Mars yang kelewat berbakat, gue harus mundur. Gue harus ngulang semua usaha gue dari awal, gue gak pernah bener-bener benci Legenda Mars, gue cuman gak suka cara dia ngebanding-bandingin gue sama anak kesayangannya itu."

Asik mengoceh sana-sini, gadis itu tak menyadari bahwa jendela rumah kosong itu bergetar, seolah ada yang baru saja membenturnya dari dalam.

Melodi seketika mengalihkan perhatiannya, menatap kaca jendela yang masih terlihat gelap. "Jurig, lo gak papa?" tanyanya ragu-ragu. Hawa disekitarnya jadi sedikit lebih misterius.

Melodi berusaha mengabaikan hawa itu, ia kembali fokus merasakan rasa sakit yang siang tadi ia dapatkan. Melupakan soal jendela rumah yang bergetar.

"Hari ini juga aneh, Aluna besti gue gak ada di sekolah. Bahkan, lo tau yang lebih parah dari itu? Dia bahkan gak bales pesan gue dari semalem! Bayangin seberapa khawatirnya gue sama dia?" Melodi menghela napasnya lelah. "Gue takut dia kenapa-napa ...." Lirihnya.

"Oh, iya! Besok gue udah buat janji sama Aluna buat ketemuan sehabis sekolah, gak sabar banget! Semoga besok dia masuk, deh!" Melodi tersenyum senang, membayangkan pertemuan perdana atas perjanjian mereka beberapa waktu lalu. "Soalnya, ini first time gue bakal belajar kayak Aluna, gue pengen jadi kayak dia yang shoehah! Biar gue gak masuk neraka! Biar Bang Jopan aja yang masuk neraka, gue jangan."

Gadis itu tertawa lepas, membayangkan Jovan akan menatapnya sinis jika mendengar ia bicara seperti itu perihal kakak sepupunya.

"Oh iya, ngomong-ngomong ... hari ini gue juga gak ketemu si bisu itu, apa jangan-jangan dia takut ya, ngelawan gue? Secara emang suara gue sebagus itu, jelas banget dari nama gue yang keren! MELODI SEMPURNA!"Gadis itu kembali tertawa, senyuman indah terpampang jelas di wajahnya.

Melodi sedikit merasa baik. 

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

Hari ini sejujurnya tidak diharuskan siswa-siswi untuk masuk sekolah, sebab acara festival sekolah sudah ditutup kemarin. Sejujurnya hari ini hanya ada beberapa anak OSIS juga beberapa panitia khusus yang diperintahkan sekolah untuk mengurus acara sebelum dan sesudah festival dilaksanakan.

Melodi biasanya termasuk kedalam golongan siswa yang memilih berdiam diri di rumah. Namun khusus hari ini, ia meluangkan waktunya untuk datang. Mungkin tak banyak yang akan ia lakukan, ia hanya ingin menemui Aluna. Soal bantu-membantu? Itu tak pernah terbesit dalam pikirannya.

"Tumben banget si Eneng, mampir." Pak Asep terkekeh, menyeruput kopi hitamnya.

Duduk di dekat pos satpam, Melodi asik bersenandung sambil menatap kendaraan yang lalu lalang di depan gerbang sekolah, beberapa motor ikut masuk kedalam sekolah.

"Sekali-kali mah, gak papa kan, Pak Asep?" Kekehnya.

Lama menunggu, gadis itu bosan. Sudah hampir tiga puluh menit Aluna belum juga nampak. Ia kesal.

Ting!

Ada pesan yang masuk.

Melodi menghembuskan napasnya kesal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Melodi menghembuskan napasnya kesal. Mengapa belakang ini semua orang jadi menyebalkan?

"Sial!" Umpat gadis itu. Ia segera bangkit dari duduknya, menepuk-nepuk rok hitamnya.

Dari pada berlama-lama di sekolah yang membuatnya semakin kesal. Melodi memilih untuk menelepon Jovan, meminta pemuda itu menjemputnya.

"Oi! Jemput gue! Buruan, gue bete banget!"

"Lo dimana, njir!? Minta jemput tapi gak kasih lokasi!"

"Sekolah." Melodi menjawab malas, ia kesal.

"Rajin bener! Kerasukan, lo?" Terdengar Jovan terkekeh di sebrang sana.

"Gila! BURUAN JEMPUT GUE! GUE KESEL!"

༶┈⛧┈┈•☆♬♩♡♩♬☆┈⛧┈┈•༶

-Deen Light
-11, 9, 24

Melodi Jiwa || Jay Park {SUDAH TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang