[Genius is 1% Talent and 99% Hardwork -Albert Einstein]
Petra memegang kertas putih dengan beberapa coretan di dalamnya. Torehan tinta materi transformasi geometri yang mati-matian ia pelajari beberapa bulan ini terbayar sudah dengan angka 100 yang tercetak di sana.
"Gila lo Pet," teriak Laras dari samping tempat duduknya. Gadis berkacamata itu--Petra--terkekeh kecil.
"Traktirannya bisa kali Pet." Laras memainkan alisnya naik turun, menggoda.
Petra menghela napas. "Kalo lo minta traktir mulu, dompet gua kering."
Gadis berdarah jogja itu--Laras-- tertawa, Laras adalah satu-satunya orang yang Petra kenal baik di kelas ini dan juga satu-satunya anak yang bisa bersenda gurau dengan cewek yang terkenal paling dingin di sekolahan. Itu juga karena Laras dan Petra tumbuh dalam lingkungan yang sama sejak kecil.
"Ya abisnya ini udah 100 ke 4, gimana gua nggak greget Pet," ucap Laras mencubit pipi Petra, yang dicubit hanya meringis sambil memberikan cengirannya.
Sebuah pesawat kertas yang terbang mengitari kelas, mendarat persis di depan meja Petra. Membuat gadis itu mengernyitkan dahi dan beberapa detik kemudian mengulurkan tangannya mengambil pesawat kertas yang tergeletak di lantai itu.
Petra membuka lipatan pesawat tersebut kembali menjadi kertas utuh. Terlihat jelas bahwa pesawat itu terbuat dari kertas ulangan matematika yang baru saja dibagikan.
Arsenfadil Bimantara
Mendengar namanya memang tidak terasa asing, tetapi Petra sama sekali tidak tahu wajah dari Arsenfadil karena Petra selalu duduk di depan. Padahal, gadis berkacamata itu kini telah genap satu bulan duduk di kelas dua belas.
Kertas itu hampir kosong dengan beberapa jawaban, juga identitas, dan tulisan kecil di bawah kertas yang ditulis dengan huruf cetak berbunyi 'saya nggak ngerti, Bu', dan torehan nilai tiga dengan tinta merah beserta paraf Bu Raras selaku guru Matematika.
"Maaf, bisa tolong pesawatnya?" tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba saja berada di depan meja Petra. Wajahnya manis, Petra cukup sering melihat wajahnya di kelas, namun ia tidak tahu wajah lelaki di hadapannya ini bisa semanis itu dari jarak dekat.
Dari postur tubuhnya, jelas bahwa laki-laki di hadapannya ini adalah olahragawan, terlihat jelas dari tinggi badannya yang cukup jangkung dan kakinya yang atletis. Tapi sayang sekali, mengingat nilai yang tertera di sana, Petra menjadi sedikit berat hati.
"Oh." Petra kembali melipat kertas itu menjadi pesawat kertas. Laki-laki itu--yang Petra tafsir sebagai pemilik kertas alias si Arsenfadil Bimantara--tersenyum dan menerima pesawat kertas tersebut dari tangan Petra.
"Makasih Petra," ucapnya tersenyum manis dan berlari menjauhi Petra yang mematung di tempatnya. Petra menundukkan pandangannya seketika. Entahlah, dari sekian banyak laki-laki di sekolah, baru kali ini Petra mendadak malu disenyumi seperti itu
"WOI SEN, TANGKEP," teriak laki-laki manis yang menerima pesawat tadi, kemudian ia melemparkan kembali pesawat itu ke udara.
Dugaan Petra meleset jauh, laki-laki itu bukanlah Arsen si pemilik pesawat kertas tadi. Pemilik aslinya sepertinya adalah laki-laki yang sedari tadi berteriak-teriak tidak karuan di kelas. Yang Petra tahu suka membuat keributan di kelas dengan celetukan-celetukan garing yang tidak lucu.
"Lemparnya yang bener doongg," cibir Arsen yang asli. Petra langsung mengembuskan napas kecewa setelah melihat nametag laki-laki tengil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradigma
Teen FictionTentang mereka, dua orang dengan dua cara pandang. Yang merelakan kebahagiaan untuk mengejar mimpinya, dan yang merelakan mimpi untuk bahagia. "Mungkin karena paradigma kita yang berbeda, rasa kita tak dapat menyatu." Forursmile.2017 P.s : ini teen...