Jakarta, 5 Agustus 2014
Untuk racun pikiran, racun perasaan, dan racun kehidupan.
Seperti hari-hari kemarin, aku masih iri pada 'kita' ribuan hari yang lalu.
Petra Maharani
((( P A R A D I G M A )))
Pintu tiba-tiba terbuka keras. Berdebam. Hampir membuat jantungnya copot. Petra yang hampir melempar pulpen ungu miliknya hanya bisa mendelik pada si tamu yang masuk tanpa diundang.
"Surat lagi?" tanya si tamu pada Petra dengan wajah tidak percaya.
Perempuan berkacamata itu--Petra--mengangguk. Ia melipat kertas barusan menjadi dua bagian dan memasukkannya ke dalam amplop. "Yah."
"Buat apa kalau ujung-ujungnya enggak lo kirim juga." Laras--tamu yang tadi datang itu--menggeleng-gelengkan kepala tidak mengerti.
"Surat itu, enggak harus kekirim buat tersampaikan," jawab Petra. Perempuan itu menaruh amplop berwarna ungu mudanya ke dalam laci yang juga penuh dengan amplop-amplop lainnya.
Laras mengembuskan napasnya, jengah. "Ini keseribu kalinya lo bilang begitu. Oh ayolah Pet, sebentar lagi umur lo udah seperempat abad. Buat apa lo masih mikirin si tengil itu kalo lo sendiri yang ngejauhin dia?"
Petra terdiam, enggan menjawab.
"Oh iya gue sampe lupa." Laras menepuk-nepuk dahinya pelan, kemudian merogoh sesuatu dari tasnya. "Gue harap ini bisa bantu."
Sebuah gulungan kertas putih.
"Apa itu?"
Satu pertanyaan yang klise baru lolos dari bibir Petra.
Laras tersenyum simpul, seperti menyembunyikan sesuatu. "Lo bakal tau waktu baca. By the way gue enggak bisa lama-lama nih, gue harus ke kemang jam setengah sepuluh."
Apa yang istimewa dari sebuah gulungan kertas sampai-sampai Laras rela datang di tengah kesibukan syutingnya? Petra melipat dahi. Ia mengambil gulungan kertas yang ditaruh Laras di atas meja, dan membacanya.
Beberapa detik kemudian ia menggulung kertas tersebut dan menaruhnya kembali ke atas meja.
"Kalo lo mau berangkat, kebetulan besok gue enggak ada jadwal shooting, jadi bareng aja sampe pulang." Laras tersenyum. "Tenang aja, kali ini gue bakal ada di samping lo."
Petra menelan kembali kata-kata yang hendak ia lontarkan. Ia seketika jadi linglung.
"Gue pergi dulu ya Pet." Laras mencubit pipi perempuan berkacamata itu dengan gemas. "See ya tomorrow."
Selepas kepergian Laras. Petra tetap bergeming, termangu.
Kertas itu membawanya kembali pada masa putih abu-abunya, membawanya kembali pada semangat kerasnya, dan membawanya kembali pada dia, yang seharusnya menerima surat Petra dengan cengirannya yang berkesan. Yang seharusnya menggenggam tangannya dan berteriak lantang pada dunia bahwa Petra adalah miliknya. Yang seharusnya memboncengnya di bangku jok belakangnya dan membawanya berkeliling Pulau Jawa. Yang seharusnya jadi miliknya.
Dia. Iya, dia. Dia yang selalu dirindukan.
((( P A R A D I G M A )))
Before talkshow
Crew : enjoy the show 😀😀😀
Another crew : oi bantu napa! lightningnya belum siap. Tapi Soundsystem oke.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradigma
Teen FictionTentang mereka, dua orang dengan dua cara pandang. Yang merelakan kebahagiaan untuk mengejar mimpinya, dan yang merelakan mimpi untuk bahagia. "Mungkin karena paradigma kita yang berbeda, rasa kita tak dapat menyatu." Forursmile.2017 P.s : ini teen...