3. [Semesta pun Ikut Resah]

138 14 4
                                    

"Pet," panggil Laras menarik bangkunya dan duduk di sebelah Petra yang sedang membaca buku. "Surat pernyataan lo udah ditandatangani ortu belum?"

Petra mengangguk malas. Ia menghela napasnya. Kedua tangannya ia benturkan ke atas meja. "Laraaas, selama persejarahan gue sekolah, nggak pernah nih ada surat-surat macam gini."

"Yaudah lah ya Pet. Udah lewat juga. Lo mau tau nggak? Kenapa Pak Andalas kayak orang PMS kemarin?" Laras menarik kursinya lagi untuk mendempetkan posisi duduknya.

Petra mengangkat sebelah alisnya tanpa melepas fokusnya pada buku paket yang ia baca. "Hmm?"

"Istrinya kabur dari rumah, udah seminggu. Katanya Pak Andalas kalang kabut nyariin dan tadi pagi istrinya baru pulang. Semoga aja besok dia berubah pikiran dan nggak ngerubah tempat duduk kita." Jemari Laras kini terkepal sambil meremas rok abu-abu milik Petra.

"Aamiin." Hanya satu kata itu yang Petra katakan. Ia sendiri sudah terlalu rungsing memikirkan hal hal yang tidak-tidak, seperti bagaimana kalau laki-laki yang menjadi tanggung jawabnya besok malah akan memberatkannya? Bagaimana kalau nilai Arsen tidak meningkat dan nilainya harus turun? Petra tentunya sangat terganggu memikirkannya.

"Dan lo tau kenapa anak kelas semuanya berdiri belain Arsen?" Laras kini menengok ke kanan dan ke kiri sebelum lanjut berbicara.

"Jadi ceritanya, kemarin itu Arsen udah ngerjain sebenernya, dia dapet jawabannya dari Damar. Terus anak-anak minjem bukunya Arsen gitu. Waktu Putri masih nyalin, temennya dateng ke kelas minjem buku, akhirnya Putri ngasih bukunya Arsen ke temennya itu. Dan sampe Pak Andalas masuk belum dibalikin," cerita Laras dengan suara yang sengaja ia pelankan. "Anak-anak pada enggak enak sama Arsen. Jadinya pada gitu."

"Gak peduli, pokoknya gue nggak mau kena surat peringatan." Petra membalik halaman bukunya dengan kasar.

"Yaampun Pet, nikmatin aja sih masa SMA. Wajar aja kalau nakal." Senggol Laras. Petra berdecak sebal.

"Nggak mau masa SMA gue ternistakan sama surat peringatan." Petra yang kolot terus membalik halamannya tanpa menoleh kepada Laras.

"Tap--"

"Apalagi, nilai fisika terancam cuma gara-gara kemaren ditarik berdiri." Kata-kata Petra yang pedas seperti menusuk ke dalam dada Laras, membuat sahabatnya itu diselimuti oleh perasaan bersalah lagi.

Laras menyikut Petra pelan. "Yaa, permintaan maaf Laras belum diterima nih semalem? maaf lagi deh Pet udah narik lo kemarin."

"Gue tau, nilai fisika itu berharga banget buat lo, maaf ya Petra cantik." Suara nge-bassnya Laras ditambah dengan nada-nada sendu ala film-film remaja sebenarnya membuat Petra geli. Ada sesuatu yang menggelitik di tenggorokannya dan membuatnya tertawa ketika mendengar suara Laras.

"Well, yah udah lewat juga sih. Bokap juga enggak marah pas gue minta tanda tangan." Petra mengukir senyumnya. "Dan jangan pake nada itu lagi Ras, sumpah gua geli dengernya. Kayak Banci taman lawang."

Mendengar itu, Laras menarik kepala Petra dan menjitakinya. "Sialan lo."

Petra ikut tertawa dan pasrah kepalanya menjadi korban penganiayaan. Dan begitulah Petra, tidak perlu ratusan orang yang membuat gadis itu tertawa. Karena baginya, Laras saja sudah cukup.

((( P A R A D I G M A )))

"Petra."

Si pemilik nama membeku ketika namanya dipanggil dengan suara rendah sekaligus menenangkan milik Damar. Beberapa saat kemudian Petra menengok ke arah Damar yang ada di serong tempat duduknya.

ParadigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang