Bunyi lantunan potongan nada für elise milik beethoven yang di indonesia selalu menjadi setelan dasar bel di sekolah, menggema. Seperti sebuah partisi waktu antara keheningan fokusnya kelas belajar mengajar dengan ributnya siswa yang sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah. Sedangkan di kelas 12 C, Petra lagi-lagi terdiam seperti kemarin.
Nyatanya walaupun hari ini lebih baik karena ia membawa uang dan diantar jemput papa, Petra masih tidak bisa memungkiri kalau ia dan Muti masih beradu diam. Mungkin mamanya itu sempat berbicara beberapa kata kepadanya, tetapi Petra masih enggan menanggapi apapun. Pipinya masih terasa panas seperti baru saja ia ditampar detik ini juga.
"Petra, lo nggak pulang?" Laras yang berada di sebelahnya bertanya dengan hati-hati.
Petra yang membuyarkan pikiran-pikirannya ketika mendengar suara Laras, langsung mengangguk pelan. Ia membereskan buku bahasa indonesianya yang berada di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas. Ketika ia membuka resleting ranselnya dan melihat buku tulis birunya ada di sana, Petra langsung memutar kepalanya ke pojok kanan belakang, tempat duduk Arsen dan Damar.
Ah, benar. Arsen hari ini absen.
Entah apa alasannya ia tidak masuk hari ini, Petra sampai duduk sendiri di pelajaran fisika tadi. Dan sayangnya, Petra juga tidak bisa menjawab pertanyaan Pak Andalas mengenai ketidakhadiran Arsen itu. Walaupun kemarin Arsen masih baik-baik saja. Cewek itu menghela napasnya. Buru-buru ia menutup kembali ranselnya dan berdiri mengikuti Laras.
Waktunya untuk pulang.
Di depan kelas, Petra menghentikan langkahnya. Cewek itu mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetikkan pesan kepada ayahnya, sesuai janjinya tadi pagi. Di sebelahnya, Laras juga ikut mengotak-atik blackberry-nya untuk menghubungi kakaknya agar segera menjemput.
"Petra."
Lagi-lagi perempuan berkacamata itu bergidik, seperti ada sebuah kejut listrik yang mengalir di tengkuknya karena suara rendah, agak serak milik Damar. Stimulus listrik itu membuat Petra tegap berdiri, tubuhnya kaku. Ia bahkan tidak sempat menanggapi ekspresi menyebalkan milik Laras yang menghunjamnya.
"y-ya?"
Tidak sampai satu menit, Damar sudah berada di hadapan Petra dengan senyum manisnya. Ia melambaikan tangannya, kedua matanya menyapa Petra tepat di mata. Sedangkan gadis itu menelan ludahnya secara perlahan agar tidak terlihat gugup.
Astaga. Aneh sekali memang.
Entah apa yang membuat fitur wajah Damar begitu kompatibel dengan degup jantung Petra, bahkan pada pandangan pertama.
Walaupun sejujurnya memang hal itu bukan sebuah hal yang baru lagi mengingat sempat beredar gambar dengan quotes yang bertuliskan, "the one who can resist Damar's smile is NO ONE", yang banyak menjadi foto profil facebook siswi di sini. Petra yang mengetahui ini dari cerita Laras, hanya bisa geleng-geleng kepala dengan eksistensi Damar yang ternyata sepopuler itu.
Kembali dengan Damar yang berada di hadapan Petra sambil tersenyum manis sekali, dan Petra yang mendadak gugup. Cewek itu takut-takut balik menatap kedua mata Damar yang teduh, tetapi laki-laki itu malah terkekeh kecil sambil menggaruk kepala belakangnya. "Petra ...."
"Kenapa?"
"Ada yang mau gue omongin sama lo," ucap Damar sambil menyipitkan matanya, ia mengusap tengkuknya, wajahnya menampakkan sedikit keraguan untuk bicara. Detik ini juga laki-laki itu tidak tahu kalau Petra rasanya ingin mati saja karena melihat wajahnya yang ragu begitu.
Laras disebelah Petra menggigit bibirnya gemas. Ujung-ujung jarinya ia gulung karena terasa aneh melihat situasi antara Damar dan Petra, terlihat bahwa ia mencoba sebisa mungkin untuk tidak berisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradigma
Teen FictionTentang mereka, dua orang dengan dua cara pandang. Yang merelakan kebahagiaan untuk mengejar mimpinya, dan yang merelakan mimpi untuk bahagia. "Mungkin karena paradigma kita yang berbeda, rasa kita tak dapat menyatu." Forursmile.2017 P.s : ini teen...