Dibilang kuat, tentu saja Muti adalah wanita super. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan dengan bersih dan rapi tanpa kecuali. Masakannya tentu saja nomor satu. Pekerjaannya dalam menjahit juga laris manis dan memiliki banyak pelanggan. Belum lagi mengurus keempat anaknya yang memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Petra mengakui hal itu.
Akan tetapi, ia rasa hubungannya dan Muti tidak akan semulus waktu ia masih mendapat predikat anak kecil. Tidak akan lagi sama setelah ia mendengar kata-kata itu keluar dari bibir ibunya.
"Buat apa belajar terus-terusan kalau nanti besar kamu jadi istri orang juga."
Petra menghela napasnya. Menatap kosong ke arah dapur. Pelipisnya berdenyut kembali, ketika ia mengingat ucapan-ucapan pedas Muti yang tidak mendukungnya belajar. Sebelum kembali terlelap dalam ingatan-ingatan buruknya, Petra membetulkan letak kaca mata dan kembali menatap Arsen. "Ayo belajar lagi. Yang ini tau nggak gimana?"
Petra menyodorkan buku soalnya kepada Arsen. "Nih."
Arsen mengembuskan napas sebal. "Bosen."
Mendengar itu, Petra geleng-geleng kepala. "Baru juga satu soal. Ayo kerjain."
Alih-alih mengerjakan, manusia tengil bernama Arsen itu malah menguap dan bersiap menidurkan kepalanya lagi kalau saja Petra tidak pasang ancang-ancang buku fisika terangkat untuk menggebuknya. Melihat posisi Petra yang siap untuk membiarkan buku tebal itu menghantam kepalanya, Arsen langsung duduk tegak. Cengiran tanpa dosa itu seenaknya bertengger di wajahnya.
Tentu saja cengiran itu dibalas dengan tatapan mengerikan yang memancarkan gelombang radiasi lebih kuat dari sinar gamma. Tepat dari dua bola mata Petra.
Arsen berdecak, kemudian mengambil buku fisika yang ada di tangan Petra. "Nomor berapa? Ah, lo nggak bisa mengeksploitasi gue gini dong."
Petra mendengus sebal, Mengeksploitasi apanya? Padahal Arsen kan baru mengerjakan satu soal.
Tetapi Petra senang karena pada akhirnya mengajak Arsen belajar tidak sesulit yang ia bayangkan. Buktinya sekarang ia sedang mengerjakan so--
"IH ARSEN KOK LO MALAH GAMBARIN BUKU GUE SIH!" Saking kagetnya Petra tidak sempat menekan volume suaranya hingga melengking tinggi. Padahal ekspektasi Petra tadi sudah tinggi sekali, tetapi Arsen seenaknya merusaknya dengan menggambar tokoh Patrick Star dari kartun Spongebob Squarepants di buku fisikanya. IYA MENGGAMBAR... DENGAN PULPEN. Astaga.
"Arsen ih." Petra menatap Arsen sebal. "Jadi jelek kan..."
Bukannya meminta maaf, Arsen malah terkekeh. Cowok itu cengengesan sehingga membuat Petra semakin naik darah. Petra menarik napas panjang dengan telapak tangan searah tarikan napasnya seperti saat melakukan gerakan yoga. Ia mengatur emosinya.
"Belajarnya jangan berisik ya, Petra kamu jangan teriak-teriak dong, nanti Pasha bangun lagi. Mama repot nanti." Suara Muti membuat baik Petra maupun Arsen menoleh. Muti berdiri sambil menggendong Pasha yang sudah terlelap lagi, satu telunjuknya terangkat ke depan bibir. Petra seketika membuang muka kemudian mengangguk kecil.
Melihat Muti dengan nada sebal seperti itu membuat Arsen bangun dan menunduk dalam-dalam. "Maaf Tante, saya yang buat Petra teriak kayak gitu. Maaf ya Tante."
"MAMA KASETNYA RUSAK! INI DORAEMONNYA NGGAK GERAK-GERAK!"
Padma mengamuk. Ia mengeluarkan kaset doraemon dari dalam DVD player, lalu memukul-mukul DVD player yang ada.
Muti memijat pelipisnya kemudian menghela napas panjang. Padma memang memiliki kendala dalam mengatur emosinya. Ia bisa saja melemparkan tantrum ketika ada hal yang tidak sesuai dengan kehendaknya. "Jangan teriak-teriak Padma, nanti Pasha bang--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradigma
Novela JuvenilTentang mereka, dua orang dengan dua cara pandang. Yang merelakan kebahagiaan untuk mengejar mimpinya, dan yang merelakan mimpi untuk bahagia. "Mungkin karena paradigma kita yang berbeda, rasa kita tak dapat menyatu." Forursmile.2017 P.s : ini teen...