7. [Jalan Setapak Lain]

76 11 5
                                    

"Tapi coba lo bayangin deh. Lo ngasih berkas ke Quacade, tapi berkas lo nggak dilirik sama sekali, dibaca aja nggak, karena Quacade ngejar-ngejar orang lain. Gimana sakitnya?"

"Gue ngerti apa yang lo hadapin nggak mudah, dan mungkin amanah tugas kelompok kayak makalah fisika ini masih bisa lo tanggung sendiri." Arsen berjeda. "Tapi nggak selamanya lo harus kerja sendirian Petra. Ada banyak orang yang mau membantu ikut andil dalam amanah itu. Walaupun jaminan nilainya nggak sebagus kalau dikerjain sendiri, tapi nggak ada salahnya memberikan kesempatan orang lain untuk mencoba kan?"

Arsen sungguh harus bertanggungjawab atas ucapannya barusan. Mendengar itu Petra terdiam cukup lama sampai membuat matanya berair.

"Yaudah, gue cuma mau bilang itu aja, nggak usah dibawa ke hati." Arsen mengusap kedua punggung tangannya sendiri. Matanya memang tidak melihat ke arah Petra, tapi laki-laki itu tahu pasti ia tidak seharusnya membuat seorang perempuan menangis--atau lebih tepatnya matanya berair. "Ohiya satu lagi. Tadi Tania titip permintaan maaf ke lo juga. Dia tadi cuma emosi kok. Selebihnya mudah-mudahan dia ngerti apa yang lo jalanin. Sorry kalau kesannya gue jadi ikut campur masalah kalian. Gue cuma--apa ya, ngerasa nggak nyaman dengan pertengkaran kalian, udah yuk balik."

"Apa gue sejahat itu?" Perkara apa yang telah Petra simpan di hatinya selama ini pecah juga hanya karena ucapan Arsen. Semua keping-keping  rasa bersalahnya karena ambisinya akan nilai memenuhi dadanya. Tangis Petra pecah.

"Nggak ada orang jahat di dunia ini menurut gue. Yang ada cuma orang yang keliatannya jahat kalau diliat dari satu sudut pandang." Arsen yang tadinya sudah berdiri, kini duduk lagi di sebelah Petra.

"Maksud gue, Setelah lo tau goals gue. Apa gue masih kelihatan jahat banget kalau gue bilang gue butuh nilai?" Petra, menatap Arsen dengan matanya yang berkaca-kaca. "Gue udah nggak tau lagi harus apa."

Cowok itu terdiam menatap mata Petra yang basah. Merasa tidak tega, ia membuang mukanya. "Nggak kok, gue yakin lo udah tau konsekuensi dari pilihan yang lo pilih. Tapi gue harap lo bisa ngerti bahwa lo nggak harus ngerjain semuanya sendiri."

Arsen menoleh ke kanan dan ke kiri. Selain anak-anak ekskul futsal, sudah jarang sekali siswa lain lalu lalang.  Kali ini laki-laki itu benar-benar berdiri. "Udah mau setengah enam, Lo pulang naik apa? Ke arah mana?"

Cewek berkacamata itu menatap lawan bicaranya. "Kenapa? Mau nganterin sampe rumah?"

Arsen terkekeh, "Nganterin pulang naik apaan? Naik angkot? Ayo, asal dibayarin ongkos pulang perginya."

Kali ini Petra ikut berdiri. Ia mengeluarkan ponselnya dan tidak menemukan notif apa-apa. "Gue dijemput. Tapi bokap gue belum nyampe."

Langit kala itu mulai berwarna keunguan, ketika akhirnya Arsen memilih untuk duduk kembali sambil menghela napasnya. Ia hanya diam saja, tanpa mengeluarkan suara sama sekali.

"Kenapa lo nggak pulang?" Petra mengangkat dagunya ke arah Arsen. Membuat laki-laki itu mengedikkan bahu. Kemudian suasana di antara keduanya berubah hening.

"Lo selalu pulang jam segini?" Arsen yang tiba-tiba saja bersuara, membuat Petra sedikit kaget. Cewek itu mengangguk. Sebenarnya, mudah saja baginya untuk pulang ke rumah sendiri, hanya saja ia merasa lebih fokus belajar di perpustakaan sekolah ketimbang di rumahnya. Dan juga ayahnya adalah salah satu alasan ia selalu memilih pulang sore.

Arsen diam lagi. Laki-laki itu mengetuk-ngetuk kayu bangku di sebelahnya, berusaha memecah suasana canggung. Ia berdehem.

"Gue minta maaf ya." Lagi-lagi Petra kaget dengan ucapan Arsen yang tiba-tiba memecah keheningan. "Gara-gara gue, lo jadi pusing mikirin nilai fisika."

ParadigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang