Petra menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya. Ruang kelas masih terlihat gelap dan begitu kosong, suasana yang mendukung untuk terlelap. Petra tidak bisa tidur semalaman karena emosinya enggan surut, ia membutuhkan tidur agar tetap bisa fokus. Sehingga ia sengaja datang pagi-pagi sekali dengan angkutan umum.
Ia tidak bisa memungkiri kalau kemarin yang bisa ia lakukan hanya menangis di atas bantalnya. Ia bahkan tidak menyentuh pelajaran apapun semalam. Ini buruk bukan? Petra tahu, ia bukan cewek-cewek kuat seperti yang di novel-novel. Tapi setidaknya Petra berusaha untuk keluar dari perasaan tidak mengenakan di hatinya, karena ia perlu menyiapkan dirinya untuk mulai belajar lagi.
Mau bagaimana pun ia tidak boleh kehilangan beasiswa itu.
Petra melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 05.20, sejauh ini hanya ada dirinya di kelas ini. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, sedang kepalanya masih tertempel di bawah. Tangannya menggenggam kacamata yang sengaja ia lepas, matanya terpejam. Ia akan tidur empat puluh lima menit, lalu mengerjakan soal-soal bahasa inggris setelah itu.
"Tangan lo kenapa tuh?" Sebuah suara membuat Petra kaget bukan main. Ia langsung membuka kedua matanya dan hampir saja melompat kaget. Ia menyipit, melihat wajah laki-laki yang berdiri di sebelah mejanya.
Petra menyatukan alisnya. "Ngapain lo dateng pagi-pagi Sen?"
"Emang biasanya gue selalu dateng jam segini. Tapi biasanya tidur dulu di UKS, hari ini nggak tau kenapa di kunci," jawab Arsen cuek, ia kemudian mengangkat dagunya seolah menunjuk ke arah ibu jari kanan Petra yang dibalut oleh plester luka. "Tangan lo kenapa tuh?"
"Luka," jawab Petra pendek, yang disusul oleh anggukan kepala Arsen.
"Anak baru lahir aja bisa tau kalo itu luka, neng." Arsen mencibir.
Petra berdengus. "Ya kenapa masih nanya?"
Mendengar Petra kesal, cowok itu hanya bisa terkekeh dan memilih untuk menaruh tasnya di bangku sebelah Petra. Ia duduk di bangku Laras, kemudian menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangannya sendiri.
"Lo ngapain duduk di sebelah gue?" Petra melipat dahinya keheranan.
Arsen tidak menjawab. Sehingga Petra terpaksa menusuk-nusuk lengan cowok itu dengan menggunakan kacamatanya. Laki-laki itu menggeser tangannya sambil mengeluarkan gumaman tidak jelas. Sepertinya Arsen berusaha untuk tidur.
"Yaudah terserahlah, gue juga mau tidur. Awas lo kalau ganggu gue." Petra mengancam dengan wajah galaknya sebelum ia kembali menidurkan kepalanya dan mencoba kembali terlelap.
((( P A R A D I G M A )))
"Yaampun lucu banget dong mereka bobo bareng hadap-hadapan."
"Eh foto dong foto."
"Gila ... gila ... kalau itu Jimin BTS sama gue yang begitu, gue udah jadi lelehan lilin kayaknya."
"Eh foto dong kirim grup. Egra, foto Gra!"
"SHIP! SHIP! SHIP EVERYWHERE!"
"Tania! Jangan dibangunin ih, udah biarin aja!"
"Seperti cover the fault in our stars. LUCU!"
Mendengar suara berisik dari belakangnya. Petra kembali sadar, sepertinya tadi ia ketiduran sebentar. Cewek itu membuka matanya, namun hal pertama yang ia lihat adalah wajah tidur Arsen. Mata Petra membulat, jadi selama ini mereka tidur berhadapan? Ya ampun!
Kelopak matanya masih berat, dan anggota tubuhnya yang lain terasa begitu nyaman dengan posisinya saat ini sehinggat membuat Petra memilih untuk tidak beranjak dari tempatnya. Kepalanya masih miring di atas meja, menatap Arsen yang tertidur. Jarak wajah mereka terhitung cukup dekat sehingga Petra bisa melihat jelas wajah Arsen walaupun tanpa menggunakan kacamata. Dan untuk sekali lagi, Petra menatap setiap inci wajah Arsen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradigma
Teen FictionTentang mereka, dua orang dengan dua cara pandang. Yang merelakan kebahagiaan untuk mengejar mimpinya, dan yang merelakan mimpi untuk bahagia. "Mungkin karena paradigma kita yang berbeda, rasa kita tak dapat menyatu." Forursmile.2017 P.s : ini teen...