"Pet, gue duluan ya." Suara Laras yang terdengar ngebass itu tidak membuat Petra menoleh, alih-alih ia hanya mengangguk.
Cewek itu sedang dendam kesumat setengah hidup sekarang. Kalau saja ia dilahirkan sebagai harimau, Arsen yang kini berada di sebelahnya pasti sudah tinggal tulang dan nama. Petra menghela napasnya, tanpa sepatah kata apapun ia membolak balik halaman buku fisika tebal miliknya. Mencoba mencari soal-soal yang sesuai.
"Pet," panggil Arsen. Petra yang masih sibuk dengan bukunya hanya bisa menggumam.
"Petra...," panggil Arsen lagi. Lagi-lagi Petra menjawab dengan gumaman biasa.
Arsen menghela napasnya. Menyerah kepada sikap Petra yang mendiamkannya. Ia akhirnya memilih untuk menyilangkan tangannya di atas meja dan mengistirahatkan kepalanya.
Setelah menemukan soal yang ia maksud, Petra menggeser bukunya ke arah Arsen. Matanya refleks mengikuti arah buku dan barulah ia menyadari kalau Arsen tertidur--atau mungkin pura-pura tidur.
"Oi," panggil Petra sambil menyenggol sikut Arsen yang berada di atas meja dengan buku tebal miliknya.
Tidak ada respon.
"Arsen," panggil Petra sekali lagi, cewek itu mulai tidak sabaran. Ia berdengus kesal, tidak nyaman. Apalagi anak-anak kelasnya yang mayoritas masih berada di kelas, memberikan cengiran-cengiran aneh walaupun tidak bersuara.
"Arsen bangun, nggak jadi belajar?" Petra mengguncang pundak Arsen dengan keras hingga tubuh cowok itu bergoyang. Walaupun sudah sekuat itu, kepala Arsen masih saja melekat pada tangannya di atas meja, enggan bangun.
Petra bisa mendengar kikik suara anak-anak yang menggerombol di belakang. Ia merasa tidak nyaman, walaupun Petra yakin betul sepertinya mereka tidak menggosipkannya. Tetapi tetap saja, ia merasa kurang nyaman, rasanya seperti ada yang menggodanya. Cewek itu berdiri dari tempatnya, menatap kesal ke arah Arsen. Ia membereskan barang-barangnya dan menutup buku fisika tebalnya itu. Setelah berdiri, ia menenangkan napasnya berniat untuk memanggil Arsen sekali lagi. Kalau cowok itu tidak bangun juga, Petra berniat untuk pulang.
"Arsen!" Petra memanggil Arsen tepat beberapa senti di telinga. Kali ini ia merasa peduli setan dengan belasan mata dari seluruh penjuru kelas yang menatapnya.
Lima detik.
Sepuluh detik.
Tiga puluh detik.
Arsen tidur sudah seperti orang mati. Sehingga Petra hanya bisa menarik napas panjang, dengan wajahnya yang merah menahan marah. Cewek itu menatap buku fisika di tangannya, kemudian detik berikutnya buku fisika tersebut bersarang di kepala Arsen bersamaan dengan bunyi BUK! keras. Arsen tiba-tiba saja mengaduh, dan mengangkat kepalanya menatap Petra sebal. Lagi-lagi seluruh penjuru kelas menatapnya, ada yang tertawa dan menyebut-nyebut 'penganiayaan dalam rumah tangga' bahkan.
Setelah itu, pelaku--Petra--langsung angkat kaki ke luar kelas tanpa menoleh kepada sang korban yang kesakitan dan memegangi kepalanya. Petra berjalan cepat sekali, pikirannya mendumel tidak berhenti. Ia bahkan mengacuhkan Arsen yang akhirnya setengah berlari mengejar.
"Petra!" panggil Arsen dari belakang, Petra mempercepat langkahnya. Melihat Petra mempercepat langkah, Cowok itu mempercepat langkahnya juga. Sehingga situasi saat itu persis seperti yang ada di sinetron-sinetron percintaan remaja dimana tokoh ceweknya ngambek, dan dikejar-kejar oleh tokoh cowoknya yang biasanya berkata 'sayang, dengerin aku dulu.'.
Menggelikan kalau dilihat. Tiga kata itu berputar dan membuat Petra kesal. Ia tidak suka situasi seperti ini, tetapi ia lebih tidak suka dengan Arsen. Sehingga Petra tidak menghiraukan teriakan Arsen. Hingga di depan tangga, langkahnya terhenti karena sepertinya Arsen berhasil menarik tas Petra ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradigma
Teen FictionTentang mereka, dua orang dengan dua cara pandang. Yang merelakan kebahagiaan untuk mengejar mimpinya, dan yang merelakan mimpi untuk bahagia. "Mungkin karena paradigma kita yang berbeda, rasa kita tak dapat menyatu." Forursmile.2017 P.s : ini teen...