"Pagi Petra."
Suara yang terdengar tidak asing dari depan pintu kelas itu membuat Petra cepat-cepat mendongak untuk melihat wajah dari si pemilik suara. Wajah laki-laki yang kemarin menyusahkannya persis di pelajaran Pak Andalas. Siapa lagi kalau bukan Arsenfadil Bimantara.
"Kemarin lo kemana? Gue hampir kena marah Pak Andalas tau. Minggu depan kita ulangan harian." semprot Petra dengan cepat. Mau bagaimana lagi, setiap melihat wajah Arsen atau bahkan sekadar mengingat nama Arsen saja, mau tidak mau Petra malah membayangkan nilai rapot fisikanya.
Arsen yang tadinya hendak berjalan menuju tempat duduknya tiba-tiba memutar haluan ketika mendengar Petra mulai mengomel. Ia kemudian duduk di bangku milik Lara dan telunjuknya ia ketuk-ketukkan pada kayu meja sehingga menghasilkan nada yang bisa diterima oleh telinga.
"Tadi lo bilang apa?" Dengan tampak tak tahu malu, dan tanpa dosa itu Arsen mendidihkan emosi Petra.
Bruk!
Suara benturan buku tebal milik Petra pada puncak kepala Arsenfadil Bimantara membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan.
"Pokoknya kalau nanti gue sampai gegar otak, nilai fisika lo pasti diturunin sama Pak Andalas," cibir Arsen sambil mengusap-usap puncak kepalanya.
"Ngapain masih di sini?" Tatapan dingin dari cewek berkacamata yang duduk di sebelahnya itu membuat Arsen bergidik.
"Ya nggak apa-apa ini kan kelas gue juga." Arsenfadil mengangkat kedua bahu seakan tidak peduli.
Petra mengalihkan wajahnya ketus. "Ini kan bukan tempat duduk lo."
Tepat sesaat setelah ucapan itu keluar dari mulut cewek berkacamata di sebelahnya, Arsen malah menidurkan kepalanya ke atas meja, seperti menantang raja hutan.
"Ini juga bukan tempat duduk Laras, ini tempat duduk punya sekolah kaliii ...." Arsen yang masih menyandarkan kepala di meja itu memeletkan lidahnya, wajahnya yang menyebalkan itu tampak puas mengejek Petra.
Sedangkan Petra memutar bola matanya sebal dan memilih untuk melanjutkan membaca buku biologinya sambil mengabaikan gangguan di sebelahnya. Cukup lama ia fokus membaca dan mencoba memahami materi tentang pembelahan sel, Petra tidak begitu menyadari ketika suasana kelas berubah hening.
Ketika suara ribut-ribut itu benar-benar berganti senyap, Petra mengangkat kepalanya dan mendapatkan kesialan baru hari ini.
"Selamat pagi." Suara berat dari guru yang tengah berada diujung kepala lima itu membuat Petra kaget bukan main. Pasalnya, Arsen yang dengan seenaknya tidur di tempat duduk Laras ini belum juga kembali ke tempat duduknya. Sebagai gantinya ia malah mendapati Laras mengkhianatinya dengan duduk di bangku belakang bersama Damar.
Petra menatap ke belakang untuk berbicara tanpa dengan Laras lewat mimik mukanya.
"Ada apa mbak cantik?" Suara berat dan mendayu-dayu milik Pak Sukamto membuat Petra bergidik dan menggeleng dengan tegas. Samar-samar ia melirik ke sebelahnya, ke arah laki-laki tengil yang entah kapan tiba tiba sudah duduk tegak dan mengeluarkan bukunya.
"Baiklah kalau tidak ada apa-apa maka saya anggap kalian sudah siap belajar semua. Ada yang ingat sudah sampai mana minggu lalu?" Pak Sukamto membenarkan letak kacamatanya. Kulit wajahnya yang tidak lagi kencang itu tampak mempertegas raut wajahnya sehingga terlihat serius sekali persis seperti tokoh Carl Fredricksen dari film animasi up.
Pak Sukamto, memang bukan guru yang galak seperti pak Andalas. Suaranya sedikit medok dan serak seperti kakek-kakek yang mendongeng pada cucunya, bahkan tak jarang membuat sebagian kelas tertidur di jam pelajarannya. Tetapi walaupun begitu, Pak Sukamto merupakan salah satu guru yang terkenal agak pelit nilai sehingga macam-macam di pelajaran Pak Sukamto ini adalah tanda silang merah baginya, tidak boleh terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradigma
Teen FictionTentang mereka, dua orang dengan dua cara pandang. Yang merelakan kebahagiaan untuk mengejar mimpinya, dan yang merelakan mimpi untuk bahagia. "Mungkin karena paradigma kita yang berbeda, rasa kita tak dapat menyatu." Forursmile.2017 P.s : ini teen...