Petra mencoba mengatur napasnya, menenangkan perasaannya. Bagaimana bisa ia mempercayakan nilai tugas kelompoknya kepada Tania? Setelah semua ini?
Ia mengambil pulpennya dan akhirnya memilih untuk diam.
Di sebelahnya, Arsen melirik, menatap kejanggalan pada ekspresi Petra. Namun laki-laki itu lebih memilih untuk diam dan meneruskan mencatat.
Karena kejadian tempo lalu sepertinya Pak Andalas jadi selalu mengecek nama-nama yang mengerjakan tugas di dalam kelas. Ia kini sibuk menandai nama-nama yang berada di halaman sampul tugas-tugas di depan. Petra menatap Pak Andalas, kemudian beralih lagi pada bukunya.
Barang lima menit kemudian, Pak Andalas mendongak lalu mengecek sekali lagi nama-nama yang berada di buku nilainya. Beliau mengernyit kemudian menatap satu persatu wajah di kelas. "Petra Maharani?"
Mendengar namanya disebut, Petra mengangka kepalanya, ia juga mengangkat tangannya dengan cemas-cemas. "I-Iya Pak?"
"Kamu tidak punya kelompok ya? Cuma nama kamu yang tidak ada di buku nilai saya." Pak Andalas menatap Petra dengan tatapannya yang biasa walaupun memang sedikit menakutkan.
Petra terperanjat. Bola matanya membulat. Ia yakin seluruh kelas kini ikut-ikutan menatapnya. Petra menarik napasnya. "Nama saya nggak ada Pak?"
Pak Andalas kembali melihat buku nilainya, lalu dengan yakin menggeleng. Petra memijat pelipisnya, ia menoleh ke belakang, tempat Tania berada. Sedangkan cewek yang dimaksud tengah mengobrol dengan teman belakangnya.
Apa maksudnya ini?, batinnya.
"Petra, saya sedang bicara dengan kamu." Suara Pak Andalas yang besar itu membuat Petra kaget dan gugup.
Petra menelan ludahnya. "Anu, Pak."
"Anu kenapa?"
"Saya punya kelompok dan sudah mengerjakan pak. Tapi saya nggak tahu kenapa nama saya tidak ada." Petra membela dirinya. Ia mencoba meyakinkan Pak Andalas dengan tatapan matanya. Tapi ia tahu betul Pak Andalas. Segala macam alasan yang tidak berhubungan tidak akan ditolerirnya.
"Siapa kelompok kamu?" tanya Pak Andalas lagi.
Petra menggaruk kepalanya. "Arsen, Tania, dan ngg anu pak..."
Petra memejamkan mata sekejap mengutuk dirinya karena lupa nama cewek yang selalu bersama Tania.
"Dan?" Pak Andalas tampaknya menunggu.
"Dan Oryza pak. Kami berempat sekelompok." Arsen tiba-tiba berdiri, ia memberi jeda sebelum menatap teman-temannya di belakang. "Iya kan? Kayaknya ada kesalahan teknis deh pak."
Oryza mengangguk sedangkan Tania lebih memilih untuk merespon dengan gedikkan bahu.
Pak Andalas diam sejenak, tampak menimbang-nimbang. Sebelum akhirnya mengangguk-anggukan kepala menerima apa yang dikatakan Arsen. "Baiklah, berarti semua sudah terdata ya."
Rasanya Petra ingin sekali mengeluarkan tugas yang ia buat sendiri dan mengumpulkannya ke depan lalu memohon untuk menukarkannya dengan tugas yang kini berada di tangan Pak Andalas. Namun ia tahu, hal itu akan membuat banyak masalah, Pak Andalas akan mencurigainya dan mungkin akan memberinya nilai buruk. Petra akhirnya memilih untuk diam saja dan menghela napasnya berkali-kali selama pelajaran berlangsung.
Di sebelahnya, Arsen yang menyaksikan ekspresi wajah Petra semakin menggelap, awalnya mencoba untuk tidak mengganggu Petra dan memilih untuk diam saja. Akan tetapi, entah kenapa ia sendiri merasa tidak nyaman dengan perubahan mood Petra yang drastis. Cowok itu merasa hal itu berhubungan dengannya. Sehingga ia menyenggol Petra dengan sikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradigma
Teen FictionTentang mereka, dua orang dengan dua cara pandang. Yang merelakan kebahagiaan untuk mengejar mimpinya, dan yang merelakan mimpi untuk bahagia. "Mungkin karena paradigma kita yang berbeda, rasa kita tak dapat menyatu." Forursmile.2017 P.s : ini teen...