Bab 9

20 3 0
                                    

.
.
.
.
.

Brukkkk..

Bayu langsung berlari menangkap Gio yang malah melayang tak sadarkan diri setelah menatap dalam-dalam mata biru milik Aster.

"Ngapain lu?!" Tanyanya karena Aster tiba-tiba membuat Gio pingsan.

Alih-alih menjawab pertanyaan Bayu, Aster lebih memilih menggotong Gio dan membaringkan tubuhnya di atas sofa.

"Ada apa si?" Bayu makin khawatir.

Aster meraih ponsel yang tadi terlepas dari genggaman tangan Gio. Dan benar. Aster sekilas melihatnya tadi. Jika Gio pergi, dia hanya akan habis memukuli calon suami Leyli dan berakhir di penjara. Karena itu dia terpaksa menghapus sedikit memori Gio.

Meski sebenarnya menghapus atau menghipnotis orang seperti ini butuh energi banyak, tapi tak masalah jika itu untuk teman-temannya. Bukankah selama ini Aster memang selalu hidup untuk orang lain?

Aster memperlihatkan chat Leyli pada Bayu yang memang meminta Gio datang ke sebuah tempat.

"Dia mau nikah. Sekarang lagi sama pacarnya." Jelas Aster singkat.

"Wah.. Gob***lok.." Bayu tak percaya. "Terus kenapa biarin dia pingsan? Kita turun aja!" Ajak Bayu.

"Lu tau sendiri Gio sekuat apa.." Aster kembali duduk sambil menoleh ke arah Gio yang dengan damainya tertidur pulas. Rasanya benar-benar lelah. Energi Aster terkuras habis. Dia butuh makanan manis sekarang.

"Ah.. Bener juga." Bayu mengangguk paham dan baru ingat tentang hal ini. Meski selalu sweet terhadap wanita, Gio sebenarnya pemarah. Dia mantan atlet tinju. Kalau saja telinganya tidak cidera, mungkin sekarang sudah menjadi atlet dunia karena sejak kecil dia memang dipersiapkan untuk tinju.

Bayu terlihat berpikir sejenak kemudian pergi ke dapur dan mencari-cari sesuatu. Setelah menemukannya tak lama, Bayu kembali lalu menyodorkan sebungkus cokelat karamel pada Aster. Dia tau betul Aster membutuhkan itu ketika selesai menggunakan kekuatannya.

Sempat melihat wajah Bayu sejenak, Aster menerimanya dengan senyuman tipis. Meski begitu, Aster bahkan tidak bisa membuka kemasan cokelat itu dengan benar hingga memerlukan bantuan Bayu lagi untuk membukanya.

"Ter.. Lain kali, sebelum bantu orang lain, pikirin dulu diri Lo sendiri.." Bayu terlihat khawatir selagi membukakan cokelat itu lalu memberikannya kembali. "Sekarang di Utopia semua orang pasti anggap Lo penjahat, trouble maker, orang yang gak peduli sama orang lain, padahal Lo yang paling depan karena selalu bisa liat apa yang kita gak bisa lihat." Bayu sempat menjeda sejenak kemudian kembali melanjutkan. "Gak bisa gitu Lo pura-pura gak tau aja, atau minimal kalau bikin Lo sakit, gak usah urusin? Gak hanya orang-orang sinting yang datang buat manfaatin Lo, jangan peduli juga kali sama orang-orang di sekitar Lo. Gak usah siksa diri terus-terusan Ter.."

Mendengar ucapan Bayu yang ternyata lebih memperhatikan selama ini, membuat Aster hanya bisa terkekeh pelan. "Gue di kasih kelebihan memangnya buat apa kalau bukan buat bantu orang?" Ungkapnya.

Bayu kembali menatapnya iba.

"Harus begitu memangnya?" Bayu duduk lalu bersandar selagi memikirkan lebih dalam akan hal ini. "Gue kenal lu dari kecil. Dulu Lo asik Ter. Pikiran lu cuma tentang kita. Main apa, main kemana, makan apa,.." Bayu terlihat sedang mengenang masa-masanya bersama Aster. "Sekarang yang lu pikirin, gimana kalau keluarga gue bangkrut, Lo sibuk bantu klien-klien gila bokap lu, sibuk ngurusin temen-temen lu yang hidupnya rawan, sibuk ngurus perintilan orang lain tanpa peduli diri sendiri. Memangnya kenapa kalau hotel gue bangkrut si Ter? Lu juga bakal baik-baik aja." Tambah Bayu.

Aster tak menjawab dan hanya diam sambil coklat manis di mulutnya. Fiks. Bayu paham betul jika ekspresinya sudah seperti itu, Aster tidak akan menjawab apapun.

"Ter.. Hilangin aja semua kekuatan lu kali ya?" Ungkap Bayu Tiba-tiba.

"Gil**A lu!" Aster kali ini menjawab dengan gelengan lebih pasti meski masih dengan senyuman yang mengembang lebih ke- tak percaya dengan apa yang Bayu katakan. Konyol memang.

"Ya Maksud gue biar bisa hidup lebih tenang aja gitu.." Bayu memang si-paling perhatian sejauh ini.

"Lu tau sendiri gimana cara gue biar bisa dapat semua kekuatan ini kan? Pengorbanan gue gak kecil Yu. Ngapain juga gue tiba-tiba buang semuanya?"

"Ah.. Bener juga. Lu bahkan sampai masuk rumah sakit tiga kali pas lagi ritual di air terjun itu. Gue ampir mukul lu waktu itu. Gilak sih. Abis sadar di rumah sakit malah mau balik lagi ke sana. Berendam lagi dan lagi. Gila sih lu!" Semua itu sudah terlewati sekarang. Aster dan Bayu hanya bisa mengenangnya sambil tertawa-tawa.

"Yang lebih gila si di gunung Lowo.. Dia sampai harus di usir polisi gara-gara nekad uji nyali sendirian.." Gio tiba-tiba menimpali padahal masih terbaring dengan mata tertutup. Sepertinya dia mendengarkan dan langsung menambahkan begitu sadar.

"Lu yang lapor polisi Bang***ke!" Aster menepuk wajah Gio dan kembali terkekeh bersama Bayu.

"Ya abis nekad bet si lu." Ujar Gio yang lalu bangkit sambil mengelus tengkuknya. "Eh? Kenapa gue di sini?" Tanya Gio tiba-tiba. "Kok gue tidur?" Ia kembali bertanya begitu sadar tempat yang ia lihat sama sekali tak ada dalam ingatannya.

"Mab**ok lu!" Ujar Bayu sambil terkekeh bersama Aster.

"Kapan? Hah.. haah.." Gio bahkan menghirup bau napasnya sendiri. "Kagak ah.." Gio yakin itu bukan bau alkohol.

"Pake obat Yo.." Bayu masih memberi alasan masuk akal mengenai ini.

"Ah.. Gi**lak lu! Kalian cekokin gue yah?" Gio malah makin menuduh.

Aih..

Sudahlah.. Biarkan dia berpikir sesukanya. Yang jelas Gio selamat dari dekaman pen**jara.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dua hari berturut-turut, Lovelyn tidak melihat Aster di sekolah. Kemana sebenarnya dia? Setelah pergi begitu saja ketika dia sedang bicara, bukankah aneh? Lovelyn masih ingin tau alasannya. Dan lagi, duit 134 juta apa kabar? Meski Evan tak pernah membahasnya lagi, tapi.. Dia benar-benar ingin mengembalikannya. Berhutang sebanyak itu gak baik. Lovelyn benar-benar tak enak hati setiap kali bertemu dengan Evan.

Kalau minta Ayaz kira-kira gimana ya?

Ah.. Coba saja. Bukankah lebih enak jika berhutang pada pacar sendiri? Ya kan?

Lovelyn pagi itu melangkah jauh dari kelasnya. Menyusuri ruangan-ruangan yang baru pertama kali ia singgahi. Lovelyn baru tau ternyata ada ruang seperti ini di Utopia.

Apa itu? Ruangan-ruangan khusus itu benar-benar terlihat eksklusif. Ada ruang khusus latihan piano, ruang balet, ruang memanah, bahkan ruangan-ruangan untuk segala cabang olahraga terpisah menjadi beberapa sekat. Kini ia tau kenapa masuk ke Utopia begitu syarat dengan peraturan aneh.

Dan..

Ruangan terakhir itu? Kosong? Ah.. Tapi jangan masuk sembarangan. Takutnya peraturan yang tak ia tau lebih aneh lagi. Pikir Lovelyn.

Disini saja.

Lovelyn hendak menghubungi Ayaz. Beberapa kali tersambung tanpa hambatan namun tak ada jawaban.

Ia melihat jam di tangan. Setahunya, jam segini bukankah sudah waktunya Ayaz bangun? Padahal perbedaan waktunya hanya 4 jam kan? Jika sekarang jam sebelas, bukankah di Timur sana matahari pun sudah mulai meninggi?

Coba lagi aja. Entah sekali atau dua kali, sebelum masuk lagi ke kelas, Lovelyn harus mendapat kabar dari Ayaz. Jika tidak ujung-ujungnya pasti malah jadi prasangka.

Cklek..
Brub..

Seseorang keluar dari pintu tak jauh dari tempat Lovelyn berdiri. Itu ibu Leyli. Dia langsung menatap Lovelyn aneh dan terlihat panik. Biasanya tak ada siswa biasa yang berani pergi ke tempat itu. Ruangan khusus Aster tak mudah di datangi sembarang orang. Seluruh siswa Utopia bahkan sudah diberi wanti-wanti akan hal ini.

"Sedang apa kamu di sini?" Tanyanya.

"Saya?" Lovelyn bingung sendiri. Bukankah ini jam istirahat? "Lagi.."

Cklek..

Deg!

What?!

Aster? Mereka..?

.
.
.
.
.

AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang