(2)

68 9 0
                                    

Walaupun acara belum mulai ruangan tersebut sudah cukup penuh. Para pengusaha dan orang-orang terkenal lainnya mulai dari kalangan pejabat, aktor/aktris sampai jajaran influencer pun berkumpul disana.

Hotel Hanmay menjadi titik kumpul bagi para borjuis, acara yang akan berlangsung pun adalah acara besar yang selalu diselenggarakan setiap tahunnya, acara amal ini menjadi tempat bagi kalangan elit menunjukkan eksistensi mereka, sejauh mana mereka harus dihormati.

Hanin memasuki ruangan dengan 2 pintu itu, dirinya memakai dress putih dengan nuansa pink, warna kesukaannya. Hanin tidak pernah suka berada disini, rasanya menyesakkan, dia harus selalu berpura-pura, menyapa dengan ramah, menanggapi dengan ceria, dan senantiasa tersenyum setiap saat. Hanin menghampiri meja bundar dengan taplak berwarna emas, meja khusus bagi penyelenggara atau pemilik acara. Yap, dirinya punya kekuasaan tinggi disini, orangtuanya sih...

Seseorang menghampiri dirinya, Hanin langsung menyesal setelah reflek menengok, Hanin membuang nafas malas.

Si tikus...

"Hei, kau tidak mau meminta maaf tentang hal ini?" Pemuda itu menunjukkan kepalanya yang terlilit perban.

"Oh kamu butuh maaf? Emangnya aku salah apa?"

Jeremy membuang muka, tersenyum sarkas.

"Kalau kamu memang butuh maaf, minta maaf dulu sama Jia, kamu memukulnya terlebih dulu."

Jeremy tertawa, "Aku? Minta maaf dengan orang buangan itu? Huh! turun harga diri aku!"

"Harga diri? Emang kamu punya?" Hanin memanasi. "Kamu bahkan baru saja mengemis maaf pada ku, apakah itu adalah sebuah harga diri?"

Jeremy menggertakkan gigi, dirinya benar-benar dongkol. Kalau saja ini bukan tempat umum, kalau saja dirinya punya pangkat yang lebih tinggi, kalau saja... Kalau saja dia bisa melebihi Hanin walaupun sejengkal, dirinya tidak akan ragu melayangkan tangan untuk menyakiti perempuan menyebalkan ini.

"Sebaiknya kamu pergi dari sini, para 'orangtua' akan segera datang." Hanin melihat sekitarnya, sudah pasti pecundang itu bawa pasukan. "Kalian juga pergilah ke 'meja' kalian masing-masing, tempat kalian bukan disini." Pemuda-pemudi itu menajamkan mata, jelas Hanin tengah menghina mereka.

Jeremy dan teman-temannya pergi dengan wajah yang benar-benar mengkerut, diantara mereka Hanin menangkap sosok seseorang.

"Hai Gregner... Kau serius ingin bermain-main dengan Danella? Aku hanya ingin memberimu satu nasihat..."

Hanin menatap Danella yang tengah asik bercengkrama dengan para influencer di meja hijau.

"Jangan bermain dengan api, kamu akan mati terbakar..."

William yang tadinya tidak ingin menanggapi, berbalik, seperti ingin menyeruduk dia mengikis jarak dengan Hanin, Hanin bergeming balas melotot.

"Kau lihat saja sendiri, dia akan berada dalam genggamanku..." William berbisik di hadapan Hanin. Hanin memberi jarak.

"Oke, silahkan saja, yang penting aku sudah memperingati."

William masih saja menatap garang sampai lengannya ditarik untuk menjauh. Hanin menghela nafas, akhirnya dirinya bisa duduk dengan tenang.

Hanin memperhatikan taplak meja miliknya, ada beberapa meja dengan warna taplak yang sama. Siapapun yang duduk di meja emas dia adalah kalangan elit tingkat atas, penyelenggara acara hanyalah sebuah panggilan tidak langsung karna hanya mereka yang duduk di meja emas yang punya hak untuk membuat acara. Sedangkan warna lain ada biru tua untuk kalangan elit menengah, hijau tua untuk kalangan elit bawah, dan warna putih khusus para pejabat. Ah ya, ada satu warna lagi, taplak meja hitam untuk mereka yang memiliki posisi penguasa dari pengusaha yang kini menjadi raja bisnis, hanya ada satu meja. Hanin melirik meja itu, baru satu pemuda yang duduk disana, Hanin tau persis siapa dia, 'supir' nya Jia.

Hanin kembali menatap Danella, berbeda dengan Hanin, ditempat seperti ini mungkin Hanin cukup berpura-pura kepada orang dewasa tapi Danella, dia berbaur dengan semua orang.

Hp Hanin berdering, sebuah notifikasi masuk.

'Tiang Listrik' memasuki hotel.

Hanin langsung bangkit dari kursinya. Danella melihat hal itu.

Mau kemana dia?

Ping Pong

Danella juga mendapati notifikasi.

'Adik Kicik' memasuki hotel.

Danella bangkit berdiri. "Gengs aku ke kamar mandi dulu ya..."

Walaupun Jia sudah menjelaskan keadaan Yena, Hanin dan Danella tidak mematikan aplikasi, mereka masih memantau Yena dari sana. Kalau belum bertemu langsung rasanya masih mengganjal, kekhawatiran itu masih saja membuntuti.

Yena memasuki lobi hotel, dia tidak bisa menyembunyikan gelagat nya yang gelisah tapi Yena berusaha untuk tetap tenang.

Brak!

"Aduh.." Yena jatuh terduduk. Seseorang menabraknya cukup keras, malam ini kenapa sih? ditabrak mulu dah

"Hei nak, hati-hati ya.." Pria berkepala 4 itu terlihat kesal, menghentak jas nya dan berlalu keluar lobi.

Ha???

Yena bangkit sambil berdecak. "Dia yang nabrak kok aku yang disuruh hati-hati." Yena bergumam sendiri.

Yena lanjut mencari ruangan penyelenggara. Dia lupa menanyakan keberadaan sang bunda.

Telpon aja kali ya...

Yena mengeluarkan handphonenya bermaksud menghubungi nomor yang termaksud tapi satu hal yang tak terduga terjadi, Yena ditarik memasuki sebuah ruangan, dirinya seolah tersedot saat pintu ruangan itu kembali tertutup. Yena mendesah lega saat menyadari 2 oknum yang tengah melotot di hadapannya itu.

"Ahh... Kak Anin nih, kak Ane nih, kirain siapa ih..."

"Katanya kaki kamu pincang?" Hanin melihat kaki Yena dengan bingung. Yena langsung meraba kakinya.

"I-iya kak, tapi sekarang udah gapapa kok, udah bisa lari tadi..."

"Serius kamu?" Kening Danella mengkerut.

"I-iya serius kok..."

"Dasar bajingan, si spaghetti-spaghetti itu mukulin kamu? Pake tongkat bisbol?!" Danella mengumpat.

"Denger ya Lin, kalau kamu gak gerak juga buat dia, kita yang bakal gerak ringkus dia..." Hanin mengancam.

"Jangan dong kak, dia kan urusan aku."

"Terus kenapa masih diem aja? Jangan mau diinjek terus dong..."

"Itu bisa aku pikirin nanti tapi untuk sementara ini ada yang masalah yang lebih urgent, kalau masalah kecil kayak gitu cuman nyita waktu aku doang, please lah..."

Hanin dan Danella berdecak mendengar.

"We have a deal, remember? Gak boleh ikut campur sampai ada yang minta tolong atau memohon bantuan."

Yena memberi penegasan. Hanin dan Danella semakin menghela nafas frustasi. Memang untuk urusan Yena, mereka selalu ingin maju paling depan, menjadi kakak perempuan yang protektif.

"Oke, sekarang udah clear ya, aku harus ketemu sama bunda, bye..." Yena keluar dari ruangan itu.

Hanin dan Danella masih saja bersidekap dada, mereka saling melirik, siapa yang mau keluar lebih dulu. Keduanya meraih kenop pintu bersamaan dan kembali melirik satu sama lain, yah hubungan mereka juga tidak baik-baik saja.

"Older first..." Danella mempersilahkan.

"Thanks..." Belum saja Hanin memutar kenop, pintu terbuka dari luar, Hanin dan Danella menahan nafas, takut seseorang memergoki mereka disana. Tapi kepala Yena yang justru muncul kembali.

"Ada yang tau ruang penyelenggara gak?" Yena tersenyum karir.

Hanin dan Danella be like 😑

#1018


Lagi mood 😚

Enjoy...

WAW : Who Are We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang