03. our lives apart

245 37 22
                                    

cause we lost it all
nothing lasts forever
i'm sorry i can't be perfect

"Lho? Bapak mau ke mana udah rapi jam segini?" tanya Sahna bingung.

Gadis itu sedang duduk di meja makan sambil sarapan dan mendengarkan TedTalk di iPadnya. Kegiatannya terhenti begitu melihat ayahnya turun dari lantai dua dengan tampilan kemeja dan celana katun. Biasanya jika ayahnya sudah berpakaian selain dari kaus oblong celana pendek, itu tandanya ia hendak pergi.

"Bapak mau cek mesin baru di pabrik," jawab Gunawan. Pria paruh baya itu lalu duduk di samping anaknya.

Dengan sigap Sahna menyiapkan sarapan untuk ayahnya. Sebuah roti berisikan telur, ham, dan sayuran diberikan pada ayahnya beserta segelas air hangat.

"Nggak ada gorengan, nih?" keluh Gunawan.

Seketika saja Sahna mendecak. "Nggak boleh sering-sering, dong, Pak! Sesekali aja. Kan minggu lalu sudah. Nanti kolesterol Bapak naik lagi."

Mendesah pasrah, Gunawan menerima sarapan yang sudah disiapkan anaknya.

"Ke pabriknya aku antar ya?" ujar Sahna yang langsung ditolak oleh ayahnya.

Sambil mengunyah sarapannya, Gunawan menolak. "Nggak usah. Bapak nyetir sendiri aja. Lagipula kamu 'kan harus buka kafe."

"Ya, buka kafe mah bisa sama siapa aja. Nanti aku titip ke Mira aja." Sahna bersikeras.

Namun Gunawan juga masih tetap tidak mau kalah. "Udah, Bapak sendiri aja ke pabrik. Kayaknya juga bakal sampai sore. Mau ketemuan dulu sama teman Bapak."

"Ya sudah." Sahna mengalah. "Nanti malam mau dimasakin apa? Biar aku sekalian belanja ke Mang Asad."

"Terserah kamu aja, deh. Asal jangan yang ribet makannya," jawab Gunawan.

Keduanya kemudian larut dalam perbincangan lain seperti hari-hari sebelumnya. Anak dan ayah itu memang memiliki hubungan dekat dan selalu menyempatkan waktu untuk mengobrol di tengah kesibukan masing-masing.

Sejak selesai dengan program magister dan kembali ke Indonesia, Sahna juga terkadang membantu ayahnya di pabrik. Gunawan memiliki pabrik cokelat di wilayah Bandung Selatan. Produksinya sudah dalam skala besar dan didistribusikan ke seluruh Indonesia.

Beberapa menu di kedai Sahna juga berbahan baku cokelat dari merek dagang keluarganya. Selain itu, di kafenya juga terdapat toko souvenir di mana Sahna menjual hasil kerajinan dan olahan warga sekitar, termasuk produk dari pabrik ayahnya.

"Bapak jalan duluan ya," pamit Gunawan begitu selesai dengan sarapannya. "Kamu jangan kecapekan."

Sahna bangkit dari duduknya lalu mencium tangan ayahnya. Setelah itu ayahnya memeluk singkat Sahna.

"Bapak juga jangan terlalu capek di pabrik. Jangan ikut turun kalau ada apa-apa. Biar yang kerja aja yang urus," celoteh Sahna memberi wejangan pada ayahnya.

Terkadang ayahnya itu masih senang turun ke lapang untuk mengurusi pekerjaan berat. Padahal sebagai pemilik, seharusnya ia diam saja dan membiarkan karyawan yang membereskan. Tapi ayahnya itu merasa lebih puas jika mengerjakannya sendiri.

"Jangan pulang terlalu malam!" seru Sahna menambahkan saat ayahnya berjalan ke pintu utama.

Setelah selesai dengan sarapannya, Sahna meninggalkan rumah dengan berjalan kaki. Ia kemudian menyusuri jalanan komplek ke arah gerbang kecil yang jadi jalan pintas antara perumahan tempat tinggalnya dan wilayah perkampungan. Ia berencana untuk berbelanja di tukang sayur yang biasanya mangkal di kampung tersebut.

Temporary EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang