lips so good i forget my name
i swear i could give you everything
•Mata Cakra memang terpejam, namun kesadarannya masih sepenuhnya utuh. Begitu ia mendengar suara gerak-gerik dari arah tempat tidur, segera saja Cakra membuka mata. Ia melihat Sahna sudah duduk dan bersandar di kasurnya. Mata sembab gadis itu memperhatikan Cakra.
"You're up," gumam Cakra. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk menetralkan kembali pandangannya.
"Kamu nggak tidur?" tanya Sahna melihat ke arah cangkir kopi dan buku di meja kecil sebelah sofa.
"Tidur, kok," dusta Cakra. Ia tidak mau mendebat Sahna saat hari masih pagi dan kepalanya berat karena kurang istirahat. "Aku buatin sarapan ya?" Ia kemudian menawari.
Sahna terkekeh. "Emang kamu bisa masak?" ejeknya.
Bibir Cakra bersungut. Ia membela diri. "Ya kalau buat telur atau bikin sereal aja aku bisa kok."
"Biar aku aja," gumam Sahna. Gadis itu bangkit dari tempat tidur. Sebelum berjalan, Cakra melihat Sahna mengecek ponsel dan mengetik sesuatu.
"Ada kabar dari Ammar?" tanya Cakra.
Sahna menyahut, "Prosesi pemakamannya mulai jam delapan."
Cakra mengangguk-angguk beberapa kali. Ia kemudian menutur Sahna keluar dari kamar.
"Kamu nggak akan ganti baju dulu?" tanya Cakra melihat Sahna masih saja memakai gaun malamnya. "As beautiful you are with that dress, I don't think it was made for cooking."
Sepertinya gadis itu juga baru menyadari pakaiannya. Tanpa menyahut, Sahna kembali ke kamarnya. Beberapa menit kemudian, gadis itu keluar dari kamar mengenakan kaus dan sweatpants.
Sebelum berjalan ke dapur, Sahna menghampiri Cakra yang duduk di kursi meja pantri. Gadis itu memberikan kaus berwarna hitam pada Cakra.
"Kamu juga mending ganti baju. Pasti nggak nyaman pakai kemeja terus," gumam Sahna singkat.
Alis Cakra tertaut. "Ini baju kamu? Nggak akan cukup di aku—"
"Punya Ammar," sela Sahna dengan nada datar.
Hal itu seketika saja membangkitkan perasaan cemburu dalam diri Cakra. Wajah pria itu berubah masam.
Menyadari tatapan Cakra yang memicing, Sahna melanjutkan, "Waktu itu dia benerin pipa di sini dan bajunya basah. Dia ganti pakai baju bapakku, bajunya masih ada di sini," ujarnya menjelaskan.
Tetap merasakan sesuatu yang tidak Cakra suka, pria itu menyimpan kaus yang diberikan Sahna. Ia tidak mau memakai pakaian orang lain, terlebih jika pakaian itu milik Ammar.
Cakra lupa dengan skor yang selalu dihitungnya namun kali ini dengan berat hati ia memberikan satu poin tambahan untuk Ammar.
"Aku ganti nanti aja," ujar Cakra.
"Suit yourself," gumam Sahna kembali dengan nada ketus.
Gadis itu kemudian sibuk mengeluarkan bahan-bahan makanan dari lemari pendingin. Cakra hanya memperhatikan gerakan halus Sahna yang sangat terampil.
Pemandangan di hadapan Cakra tentu saja membangkitkan perasaan familiar. Dirinya kembali terjebak dalam nostalgia. Lagi-lagi ia ada dalam situasi seperti ini dan tidak bisa melakukan apa-apa selain merasakan nyeri di balik celananya.
Cakra mengenyahkan pikiran liarnya. Ia kemudian teringat sesuatu.
Pria itu berjalan ke lemari pendingin dan mengambil dua buah kantung teh dari sana. Cakra tahu Sahna akan bangun dengan kondisi mata yang sembab setelah semalaman menangis. Oleh karena itu ia berinisiatif untuk membuat sesuatu yang bisa meredakan kondisi Sahna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Effect
RomanceMendapatkan warisan sebuah vila tempatnya menghabiskan masa kecil dan perkebunan luas dari mendiang ayahnya, Cakra Nataprawira memiliki rencana untuk menginvestasikan bagian warisannya. Lagipula vila itu menyimpan terlalu banyak kenangan yang ingin...