i'd climb every mountain
and swim every ocean
just to be with you
and fix what i've broken
•"Gimana rapatnya, Pak?" tanya Sahna begitu ayahnya masuk ke dalam kafe.
Gunawan melepas topinya dan mengipaskan ke wajahnya. Ia baru saja kembali dari rapat gabungan perangkat desa yang diadakan di kecamatan. Sudah beberapa tahun ini Gunawan dipercaya menjabat sebagai kepala desa oleh masyarakat.
Pria itu kemudian duduk di kursi tinggi dekat dengan anaknya. "Ya gitu, deh. Agendanya tentang sosialisasi rencana pembangunan di sini," jawab Gunawan. "Katanya Pemprov mau bangun ruang terbuka hijau dan pusat edukasi tentang alam di wilayah kita."
"Jadi benar bakal dibangun taman wisata di sini? Terus tanah yang dipakai warga berkebun gimana?" tanya Sahna. Ia teringat warga di sekitar rumahnya yang berprofesi sebagai petani. Selama ini mereka menyewa dan menggunakan lahan pemerintah untuk bercocok tanam. Sebagian lagi menggunakan lahan milik keluarga Nataprawira.
Selain vila yang diizinkan untuk menjadi tempat anak-anak belajar, Yudhi Nataprawira juga mengizinkan lahannya dipakai warga berkebun. Untuk biaya sewa tanah dan aturan lainnya Yudhi serahkan untuk diurus oleh Gunawan.
Sahna jadi bertanya-tanya apakah lahan itu juga akan terkena dampak pembangunan?
Gunawan menghela napas. "Setengah wilayah di sana 'kan tanah pemerintah. Warga cuma punya hak sewa aja. Hanya beberapa yang punya kepemilikan resmi, termasuk punyanya almarhum Pak Yudhi. Jadi mungkin nanti akan dibicarakan tentang ganti ruginya kalau tanah mereka kena imbas juga," jelasnya.
Sahna bertanya lagi. "Wilayah mana aja yang bakal dibangun, Pak?"
"Sebagian besar wilayah perkebunan desa Cigirang. Termasuk yang dipakai warga, semua kena."
"Kalau keluarga Nataprawira nggak bersedia melepas tanahnya, taman itu bisa batal dibangun di sini, nggak? Tanah mereka 'kan luas banget."
Wajah Gunawan berubah. Ekspresinya menunjukkan sesuatu yang tidak tersirat. Pria itu memandang ke arah lain, seakan berat untuk memberitahu anaknya tentang sesuatu yang ia tahu.
Sahna menyadari perubahan di wajah ayahnya. Ia mendelik, coba untuk mengartikan ekspresi ayahnya. "Kenapa, Pak?"
"Kita bahasnya nanti aja ya di rumah. Bapak masih harus ke kantor desa." Gunawan kemudian bangkit dari kursinya.
"Eh? Nggak akan makan atau ngopi dulu? Biar Sahna buatin," ujar sang gadis coba menahan ayahnya karena ia masih penasaran tentang berita pembangunan taman wisata di daerahnya.
Ia hanya mendengar berita simpang siur dari warga. Yang ia tahu, pembangunan itu berada di bawah naungan pemerintah dan rumornya akan masif. Wilayah yang menjadi cakupan taman akan menggunakan lahan-lahan yang dipakai warga.
Warga di daerah itu memang tidak punya sertifikat kepemilikan karena tanah yang mereka pakai sebenarnya milik pemerintah. Hanya saja sudah berpuluh-puluh tahun para warga menggunakan lahan itu untuk berkebun.
"Nanti saja," sahut Gunawan. "Bapak jalan lagi, ya."
Mengangguk, Sahna meraih tangan ayahnya dan menciumnya. "Hati-hati bawa motornya," ucap Sahna.
Gunawan lalu berjalan ke arah pintu keluar. Ia kemudian berpapasan dengan Ammar yang baru saja masuk ke dalam kafe.
"Eh, Pak Awan. Mau ke mana, Pak?" tanya Ammar mencium tangan pria paruh baya itu.
"Ke kantor desa," jawab Gunawan. Sebelum kembali melangkah, ia berkata lagi. "Nanti sore kamu sibuk nggak? Saya mau minta tolong. Pipa kolam ikan saya bocor jadi airnya ke mana-mana. Mau minta tolong Mang Ono tapi hari ini dia lagi pulang kampung. Kira-kira kamu bisa, nggak, ganti atau rapihin lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Effect
RomanceMendapatkan warisan sebuah vila tempatnya menghabiskan masa kecil dan perkebunan luas dari mendiang ayahnya, Cakra Nataprawira memiliki rencana untuk menginvestasikan bagian warisannya. Lagipula vila itu menyimpan terlalu banyak kenangan yang ingin...