06. (never) let go

201 34 18
                                    

i'm still making sense
of having nothing left to save

"Tiba-tiba sekali keputusannya, A Cakra," ujar Ono setelah mendengar pengumuman dari Cakra.

Cakra menyunggingkan senyum tipis. "Udah dipikirkan dari beberapa waktu ke belakang sih, Mang."

"Kalau boleh tahu, kenapa ingin dijual, A?" Gunawan ganti bertanya.

Sahna yang kini sudah berdiri di samping ayahnya dengan wajah tegang hanya mendengarkan obrolan ketiga pria itu. Sesekali ia melirik Cakra dengan tatapan tajam. Ia tidak menyangka Cakra akan menjual vila tempat anak-anak belajar dan mengaji.

Dulu, Yudhi mengizinkan tempatnya dipakai untuk anak-anak setelah Gunawan meminta izin. Yudhi beralasan agar vilanya tetap hangat dan bisa bermanfaat. Kini, hanya beberapa bulan setelah vila itu diberikan kepada Cakra, anaknya itu malah segera ingin menjualnya.

Sahna tidak menyangka sedangkal itu pikiran Cakra. Ia kira setelah melihat keadaan vilanya yang lebih bermanfaat, Cakra justru lebih tergerak untuk ikut berkontribusi. Namun sebaliknya, pria itu malah hendak membubarkan kegiatan yang sudah berjalan bertahun-tahun.

Apakah dalam pikiran pria itu kini hanya berisi keuntungan dan uang?

Dengan diplomatis, Cakra coba menjelaskan alasannya. "Saya rasa daripada dibiarkan, lebih baik vila ini dirawat oleh pemilik baru. Bagus-bagus pemilik barunya nanti sering berkunjung ke sini."

"Memangnya nggak ada niatan dikunjungi setiap tahun kayak dulu?" tanya Gunawan lagi.

Cakra menggeleng pelan. Ia tersenyum kecut. "Semua sudah sibuk dengan hidup masing-masing."

"Kira-kira mau dijual berapa?" tanya Sahna ketus.

Alis Cakra menekuk. Pria itu menatap Sahna keheranan, antara bingung untuk menjawab atau karena Sahna yang bertanya padanya. "Belum dipikirin, sih," jawabnya ragu.

"Katanya udah dipikirin dari beberapa waktu ke belakang. Berarti harusnya udah tanya-tanya juga nilai jual vila ini," cecar Sahna masih dengan nada sinis.

Sahna tahu Cakra bukan orang yang spontan. Pria itu selalu merencanakan semua hal jauh-jauh hari. Sahna tahu Cakra tidak pernah mengambil keputusan dengan gegabah.

Pikiran Sahna kini menduga-duga. Apa yang menjadi alasan utama pria itu hendak menjual vilanya? Ia yakin alasannya pasti bukan uang dan bukan juga tentang kondisi vila yang terbengkalai. Jelas-jelas Cakra melihat sendiri vila yang terawat dengan baik dan kini selalu dikunjungi anak-anak.

Ataukah karena ia tidak suka dengan vila yang dipakai oleh anak-anak?

"Sahna," sergah Gunawan pada anaknya. "Nggak boleh kayak gitu."

"Aku cuma ingin memastikan aja," gumam Sahna membalas ayahnya.

Obrolan tegang itu berakhir saat Ammar datang dari dalam vila. Wajahnya semringah melihat kehadiran Cakra di antara mereka.

"Cakra? Ya ampun lama nggak ketemu!" seru Ammar begitu sudah berada di antara orang-orang yang sebenarnya berwajah tegang.

Sahna melirik Cakra yang memaksakan senyum. Ia lalu menyambut jabatan tangan Ammar. Ekspresinya masih tegang.

"Apa kabar?! Dari kapan ada di sini?" tanya Ammar berbasa-basi masih dengan nada riang.

"Baik," jawab Cakra singkat.

Ammar mengangguk-angguk. Ia kemudian berbicara lagi, "Omong-omong, makasih ya, sudah meminjamkan vila keluarga kamu untuk anak-anak ngaji dan belajar."

Temporary EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang