25. just hold on

172 32 37
                                    

just know this too shall pass
i'm telling you now
when it all melts down i'll be there

"Teh Sahna!" Sultan langsung menghambur memeluk sang gadis begitu Sahna sampai di kediamannya.

Ammar yang berdiri di samping Sultan segera berjalan menghampirinya. Namun pria itu membiarkan Sultan menangis sambil mendekap Sahna.

Tubuh Sultan terasa kecil dalam dekapan Sahna. Kedua tangan anak itu melingkar erat di pinggangnya sedang isaknya tersedu-sedu.

"Bapak aku, Teh. Bapak aku meninggal," isak Sultan berkali-kali. "Aku sendirian."

Sahna tidak bisa lagi membendung kesedihannya. Sepanjang perjalanan menuju Bandung, ia berjanji untuk tidak menangis di hadapan Sultan. Ia seharusnya menenangkan anak itu. Namun kenyataannya air mata Sahna tumpah juga.

Cepat-cepat Sahna mengusap air matanya. Ia melepas pelukan Sultan lalu berjongkok agar sejajar dengan sang bocah. "Sultan dengar Teteh ya. Kamu nggak akan pernah sendirian. Ada Teh Sahna, ada A Ammar juga. Semuanya pasti nemenin kamu."

Dengan gerakan halus Sahna menghapus air mata yang membasahi wajah Sultan. Batin Sahna meringis pedih. Anak sekecil itu harus berkali-kali merasakan kehilangan. Anak sebaik Sultan harus merasakan pahitnya hidup sejak kecil.

"Kamu mau takziah dulu ke dalam?" tanya Ammar menawari.

Sahna mengangguk pelan. Ia meminta Sultan menunggu dengan Ammar.

Di belakang Sahna, ada Cakra yang berdiri diam, menatap iba pada Sultan. Pria itu kemudian menutur Sahna masuk ke dalam rumah Sultan tanpa suara.

Setelah Sahna memberikan penghormatan terakhir dan mengobrol singkat tentang rencana pemakaman mendiang Pak Mulya, gadis itu kembali ke luar.

"Lebih baik kamu pulang dulu ke rumah," saran Cakra.

Seharusnya seperti itu, Sahna juga setuju. Ia tahu dirinya dan Cakra pasti mengundang perhatian orang-orang. Keduanya yang pergi langsung dari acara anniversary Nataprawira menuju Bandung tidak sempat berganti pakaian. Sahna masih mengenakan gaun malamnya yang ditutupi sweater milik Cakra, sedangkan pria itu masih berpakaian formal tanpa jas.

Malam semakin larut. Karena Pak Mulya meninggal saat hari sudah gelap, warga memutuskan untuk mengadakan upacara pemakaman di pagi hari.

Sepanjang malam warga bergantian melantunkan ayat-ayat Al-Quran untuk mendoakan Pak Mulya. Rumah sederhana itu menjadi ramai karena para warga juga ingin menemani Sultan.

Begitu juga Sahna. Ia tidak tega membiarkan Sultan sendiri meski anak itu sudah mulai tertidur ditemani Ammar.

"Nanti pagi kita ke sini lagi," ujar Cakra lagi. "Kamu juga butuh istirahat supaya bisa menemani Sultan."

Sahna setuju. Namun hatinya masih berat.

Tidak lama, Ammar datang menghampiri Sahna yang sedang duduk bersisian dengan Cakra. "Sultan udah tidur. Kasian dia kayaknya kecapekan nangis."

Sahna hanya mengangguk. Dadanya terasa semakin berat membayangkan kesedihan Sultan.

Memperhatikan penampilan Sahna dan Cakra, Ammar berkata lagi, "Kalian langsung pergi dari Jakarta?"

Cakra mengangguk. "Sahna dapat kabar dari kamu waktu kami masih di venue."

"Oh," sahut Ammar. "Lebih baik kalian pulang dulu. Saya standby di sini, kok, jagain Sultan."

Sahna bisa merasakan pandangan Cakra meliriknya. "Ayo, Na. Kamu pasti capek," ujar pria itu.

Ya. Tubuh Sahna sakit di sana sini dan kepalanya berdenyut. Lelah dan kantuk menyerangnya. Namun hal itu pasti tidak sebanding dengan apa yang Sultan rasakan sekarang.

Temporary EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang