do you remember happy together?
i do, don't you?
•"Kenapa cuma dikit makannya?" tanya Sahna memperhatikan Cakra yang sudah selesai makan. "Nggak enak?" tanyanya ketus.
Cakra menggeleng. "Bukan gitu. Perut aku lagi bermasalah," ujarnya. "Nanti aku habiskan, kok."
"Nggak usah. Kalau dimakan lagi nanti malah jadi nggak enak." Sahna hendak mengambil piring di hadapan Cakra. Namun pria itu menahan piringnya.
"Eh, mau dibawa ke mana?" tanya Cakra.
"Mau aku bawa ke dapur. Kan makannya udah selesai?" tanya Sahna setengah mencibir.
Seketika Cakra melanjutkan lagi makannya meski dengan perut yang sebenarnya sedang bergejolak. Namun ia tidak tahan melihat Sahna semakin marah padanya. Cakra takut gadis itu tersinggung karena ia tidak menghabiskan makanannya.
Cakra menggeleng. "Mau aku habiskan aja," ujar Cakra sambil mengunyah makanannya susah payah.
Kening Sahna berkerut. Ia kembali duduk di hadapan Cakra dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Gadis itu tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak tersungging. Namun cepat-cepat ia hilangkan lagi senyumnya sebelum Cakra menyadari.
"Nggak usah dipaksakan. Nanti yang ada malah keluar semua," gumam Sahna masih memperhatikan Cakra yang sedang makan.
Saat makanan di piringnya sisa beberapa sendok, Cakra menyerah. Sahna benar, daripada makanannya kembali keluar, lebih baik Cakra pasrah saja menerima omelan dari sang gadis.
"Makasih ya, Na, mau nemenin aku makan," ucap Cakra setelah selesai makan.
Sang gadis tidak membalas dengan kalimat apa pun. Sahna mengambil piring bekas makan Cakra dan membawanya ke dapur tanpa suara.
Cakra mendesah panjang. Gadis itu masih saja dingin dan ketus. Padahal Cakra kira setidaknya Sahna sudah bersedia bicara padanya.
Pikir Cakra sempat merasa di atas angin saat Sahna datang ke vila membawakannya makanan. Belum lagi saat gadis itu masih mengingat kebiasaannya. Ditambah saat Sahna bersedia menemaninya makan. Rasa-rasanya bunga kembali bermekaran dalam diri Cakra. Namun semua itu segera layu dan hancur melihat sikap Sahna yang tetap antipati padanya.
"Aku pulang dulu—"
"Na!" sela Cakra. Sahna diam di tempatnya dan melihat ke arah sang pria dengan tatapan paling dingin yang pernah dilihat Cakra.
"Um, ada yang mau bicarakan. Tentang vila ini," ujar Cakra.
Kepalanya segera mencari topik untuk dibahas. Ia sebenarnya hanya tidak ingin Sahna pergi. Ia ingin menahan gadis itu sebentar lagi.
Sepertinya hal itu berhasil. Sahna kembali duduk di kursi meja makan di hadapan Cakra. "Apa? Kamu batal jual vilanya?" tuding Sahna.
"E-enggak," jawab Cakra kikuk. Kepercayaan dirinya seakan menghilang.
Mendengar jawaban Cakra, sang gadis langsung beranjak dari kursinya. "Berarti nggak ada yang perlu dibicarain."
"Aku mau kasih tahu kamu kenapa aku jual vila ini," ucap Cakra cepat saat melihat Sahna sudah setengah jalan berjalan menuju pintu.
Menghela napas, Sahna kembali berbalik dan berkata dengan marah, "Karena apa? Uang? Atau kamu nggak suka lihat tempat ini dipakai anak-anak? Sama seperti kamu nggak suka lihat lahan kamu dipakai warga makanya kamu mau ambil itu semua dari mereka?"
Cakra menggeleng. "Nggak gitu, Na," sangkalnya dengan suara pelan.
"Sejak kapan kamu jadi berorientasi sama uang? Cakra yang aku tahu nggak peduli sama itu semua. I guess being super rich isn't enough for you. Apa kamu juga ingin memperlihatkan ke orang-orang bahwa kamu punya kuasa yang bisa dengan mudah mengubah nasib mereka?" cecar Sahna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Effect
RomanceMendapatkan warisan sebuah vila tempatnya menghabiskan masa kecil dan perkebunan luas dari mendiang ayahnya, Cakra Nataprawira memiliki rencana untuk menginvestasikan bagian warisannya. Lagipula vila itu menyimpan terlalu banyak kenangan yang ingin...